Selasa, 02 Oktober 2012


TEATER MODERN
Pertemuan ke 14

TEATER DAN KEBUDAYAAN

·       Teater dipandang sebagai salah satu seni yang memiliki banyak kemungkinan melakukan protes atau perlawanan terhadap kekuasaan atau rezim yang menjalani suatu pemerintahan. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, bila teater dipandang sebagai manifestasi kehidupan yang nyata dihadapi oleh setiap umat manusia. Bagaimanapun juga, masih banyak bidang kehidupan lain dapat melakukan protes atau perlawanan yang lebih signifikan, sebut saja misalnya, partai politik dan demonstrasi mahasiswa, LSM dan buruh. Namun demikian, pandangan yang menempatkan teater lebih aktif dalam mengeksplorasi sisi kekuasaan tersebut, tidak dapat dipungkiri begitu saja. Untuk itu, diperlukan suatu penjelasan yang lebih konkrit tentang bagaimana teater tersebut sesungguhnya dalam melakukan eksplorasi-eksplorasi yang bertitik tolak dari penanaman kehidupan manusia yang berkorelasi dengan kebudayaan sebagai wacana pendidikan yang paling dominan.
·       Teater memang memiliki “alat” yang paling konkrit berupa pengucapan langsung terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Pengucapan tersebut bisa secara verbal maupun non verbal disampaikan kepada publiknya. “Alat” teater tersebut sepertinya tidak terbatas dalam penggunaannya. Sehingga, teater --tidak berlebihan bila dianggap lebih memiliki peluang produktif menciptakan perubahan dalam kehidupan sosial maupun kebudayaan. Teater dan Kebudayaan merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan, karena teater lahir dari suatu cara hidup yang dibangun oleh masyarakat atau manusia pencipta kebudayaan itu sendiri.
·       Di banyak negara-negara dunia ketiga, teater masih menempatkan posisi yang tidak ”menguntungkan” dari segi pandangan politik. Teater seolah-olah ”barang haram” atau suatu aktivitas individu maupun kelompok yang dapat menggangu tatanan sosial maupun kebudayaan tertentu yang telah ditanamkan pada suatu masyarakat.
·       Era pemerintahan Orde Baru di Indonesia misalnya, telah terbukti bagaimana teater dilarang pertunjukannya atau dilarang sosialisasinya, karena terdapat kata-kata maupun tema serta gerak geriknya yang mengindikasikan perlawanan terhadap kekuasaan yang sedang bertahta. Kita masih ingat bagaimana Opera Kecoa dari Teater Koma Jakarta yang dipertunjukkan di Graha Bhakti Budyaa Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta di segel oleh pihak berwajib, karena di anggap mengespresikan situasi kekuasaan yang sedang berlangsung. Begitu pula dengan pertunjukan teater Marsinah Menggugat yang digelar oleh teater yang didalamnya terdiri dari para buruh di Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta.
·       Bahkan  di Kuba, seluruh penonton pertunjukan teater yang sedang asyik menyaksikan pertunjukan, di giring ke dalam sejumlah kendaraan terbuka untuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
·       Pertunjukan teater pada saat-saat tertentu memang sedemikian rumit untuk diselenggarakan. Begitu pula dengan diskusi-diskusi yang membicarakan atau yang melakukan kajian terhadap teater. Maka, tidaklah mengherankan bila pertunjukan dan diskusi buku-buku tentang teater --juga disiplin ilmu lainnya, nyaris tidak menyentuh kenyataan kemanusiaan atau kehidupan yang ada.
·       Bentuk-bentuk penyaringan terhadap semua aktivitas tersebut sudah sangat ketat, dan akhirnya ”membunuh” kehidupan teater. Hingga saat ini, hal semacam itu masih saja menghantui, meskipun dalam bentuk yang lain. Yakni, lahirnya manusia-manusia yang berpikiran sempit, dan memandang sebelah mata terhadap teater. Pandangan yang sempit dan melakukan pengkotak-kotakan terhadap dunia kesenian pada umumnya, dan teater khususnya telah pula menghambat terjalinnya sinergi antara satu kesenian dengan kesenian lainnya. Misalnya, antara tari dan teater, antara seni rupa dan teater, antara musik dan teater, dan seterusnya.
·       Padahal, apa yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian. Paling tidak, seperti yang dikemukakan oleh James Roose-Evans dalam bukunya Theatre Experimental, from Stanislavsky to Peter Brook (1989: 91-100), bahwa tari modern yang dibangun oleh Martha Graham dan Alwin Nokolais memberikan kontribusi yang besar terhadap teater. Pengakuan semacam ini sangat banyak muncul dalam dekade lima puluhan, seiring dengan semakin terbukanya kreativitas seni dalam melakukan berbagai eksplorasi. Keterbukaan eksplorasi tersebut juga dimungkinkan oleh semakin jenuhnya para pelaku seni dalam pengkotak-kotakan seni.
·       Dalam teater sendiri, pencipta ide  ”Teater Miskin” Jerzy Grotowski misalnya, menolak bahwa teater merupakan kumpulan dari sejumlah disiplin, seperti tari, musik, seni rupa dan sastra. Namun demikian, pendapat bahwa teater merupakan kumpulan dari berbagai disiplin ilmu masih sangat kental dalam pendidikan seni maupun dalam aktivitas seni pada masyarakat kita.
·       Antonin Artaud yang menggagas ”Teater Kacau” (Theatre of Cruelty) dalam bukunya The Theatre and Its Double (1958:7-13) misalnya, menegaskan bahwa persoalan teater sekarang ini berhadapan dengan persoalan kebudayaan manusia-manusia yang lapar. Jadi, teater sejenak harus ditinggalkan karena manusia masih membutuhkan makan ketimbang terlibat dalam teater. Begitu pula dengan kebudayaan. Dalam dunia yang lapar, perhatian dan usaha-usaha membangun kebudayaan sejenak menjadi tidak penting.
·       Persoalan-persoalan kemasyarakatan dan upaya membangun perekonomian yang maju menjadi prioritas utama. Untuk itu, kita tidak perlu heran bila pemerintah Indonesia misalnya, menempatkan kesenian pada umumnya, dan teater khususnya pada prioritas yang paling bawah. Bahkan, terhadap dunia pendidikan pun, prioritas utama tidak diberikan. Di satu sisi, barangkali ada benarnya. Bagaimana mungkin manusia dapat menikmati kesenian bila perut mereka kosong dan tidak mampu melakukan pencerapan yang memadai. Namun di sisi lain, asumsi ini harus dipertimbangkan lagi, karena kesenian bukan persoalan mengisi perut, tetapi merupakan permasalahan besar umat manusia dalam membangun tatanan kehidupan yang mereka jalani di dunia. Teater merupakan investasi kebudayaan dengan membangun spirit kehidupan, bukan persoalan mengisi perut, tetapi persoalan mempertimbangkan secara bijaksana tatanan kehidupan manusia yang seharusnya di tempuh dan di bangun dalam seluruh tatanan kehidupan yang ada.
·       Kehidupan manusia memiliki unsur pembangun yang sangat kompleks. Mulai dari kemampuannya berbicara, berilmu pengetahuan, moral, etika hingga keberadaannya sebagai pemimpin di muka bumi. Oleh karena itu, diperlukan media yang memadai untuk membuka jalan bagi terselenggaranya unsur-unsur pembangun bagi manusia. Salah satunya adalah kesenian, dan lebih spesifik lagi adalah teater.

Teater dalam Kehidupan

·       Teater bukan hanya suatu pertunjukan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Secara spesifik teater bukanlah semata-mata peniruan ataupun cermin, tetapi ia adalah kehidupan yang dijalani umat manusia dalam memahami dan menjalani segala perbuatan yang dilakukannya di bumi.
·       Pada awal dipahaminya teater, yakni dari bangsa primitif yang melakukan perburuan dan anak-anak yang bermain “mama-papa” serta upacara-upacara ritual bangsa-bangsa yang lahir paling awal di dunia, semua itu menunjukkan satu hal, bahwa semua yang terjadi itu berangkat dari apa yang terjadi dalam kehidupan, biasa realistik --yakni, yang berangkat dari kehidupan sehari-hari, maupun yang non realitisk --yakni, yang merupakan imajinasi manusia dalam memandang kehidupan tersebut.
·       Memang, semua teater berangkat dari kehidupan yang dihadapi oleh para pelakunya. Tetapi, tidak semua teater memahami betul bagaimana mereka seharusnya memasuki kehidupan tersebut. Karena kehidupan yang dimasuki tersebut juga tidak dapat menghindarkan diri dari persoalan-persoalan di mana mereka harus menempatkan matra kebudayaannya sebagai bagian penting dalam memasuki teater. Teater-teater di dunia memiliki jalan sejarah yang berbeda-beda. Jalan sejarah tersebut bukan saja melahirkan isme-isme teater, tetapi juga melahirkan ideologi-ideologi baru dalam memahami kehidupan. Seperti munculnya teater modern yang berangkat dari tiga aspek penting, yakni politik, sosial, dan revolusi pemikiran (Cohen: 173). Dari ketiga aspek itu pun dapat dibedakan lagi dengan beberapa aspek yang menunjang pemahaman kehidupan atas dasar kebudayaan yang dibangun oleh berbagai bangsa.
·       Di Jerman, awal kebangkitan teater modern yang dipelopori dengan munculnya konsep dramaturgis “Strum und Drung” oleh Goethe dan Schiller merupakan sebuah bagian dari perlawanan kedua dramawan dan penyair ini terhadap kekuatan borjuasi yang sedemikian rupa menguasai tatanan pemikiran masyarakat Jerman, seiring dengan lahirnya gerakan Romantisme. Lain lagi dengan pelopor teater Realisme seperti pengarang dan penyair Norwegia Hendrik Ibsen yang menghadapi kebobrokan moral masyarakat hingga pelecehan seksual kalangan petinggi kerajaan atau kalangan bangsawan.
·       Perkembangan yang sedemikian pesat dalam teater modern dengan munculnya gerakan simbolisasi yang merupakan bagian dari bergeloranya stilisasi dalam teater, pandangan kehidupan semakin menajam dan memperlihatkan bagaimana teater sangat peduli pada pertumbuhan tatanan kebudayaan di tengah-tengah masyarakat.
·       Penolakan terhadap teater realistik yang hanya berbicara gambaran kehidupan nyata tanpa memberikan kesempatan konstruksi imajinatif manusia, membuat kalangan simbolis dengan sejumlah gerakannya, seperti Eksprsionisme. Teaterikalisme, Drama Eksistensialisme, Teater Absurd, Teater Alienasi, Komedi Kontemporer Manner, maupun Supra-realisme, merasakan betapa kehidupan berkemungkinan mengalami penyempitan.
·       Penyempitan kehidupan itu hanya akan membuat manusia menjadi makhluk yang patuh tanpa sebab, atau membisu seribu bahasa, ketika tantangan kehidupan mengalir di depan mata.
·       Persoalan-persoalan seperti kegagalan komunikasi antar manusia, kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupan serta ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi gencarnya teknologi terapan yang mengantar manusia pada kenisbian identitas kemanusiaan membuat banyak kalangan teater harus mengoreksi kembali perlakuan mereka terhadap naskah lakon dan posisi mereka dalam menentukan berlangsungnya proses berteater.
·       Teater bukan lagi sebuah kenyataan dalam kehidupan, tetapi merupakan proses-dengan-kehidupan itu sendiri. Hal ini artinya, bahwa teater tidak berbicara tentang kehidupan semata, tetapi bersama-sama dengan kehidupan itu meletakkan kerangka perjalanan kehidupan yang harus dijalani manusia.

Kebudayaan sebagai wacana Pendidikan

·       Louis Leahy (1993:218) menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah suatu data kodrati yang diwariskan, maka kebudayaan harus didapatkan dan di raih oleh tiap manusia yang sedang berkembang, melalui suatu proses perkembangan yang mempunyai prinsip batin di dalam intelegensi dan kebebasan tiap pribadi; itulah perolehan yang terkandung di dalam lingkungan sosial. Dengan demikian, maka lingkungan sosial bukan sesuatu yang terlahir begitu saja, tetapi harus dari proses yang juga panjang dalam membangun kebudayaan manusia.
·       Dalam cara hidup teater pun terlihat bagaimana segala daya upaya ditumbuhkan dalam melahirkan segala aspek yang memungkinkan manusia melakukan tindakan eksploratif terhadap perjalanan kehidupannya.
·       Di dalam diri manusia terkandung semangat maupun motivasi mendirikan keinginan-keinginan maupun kehendak untuk berbuat. Dari sini proses semacam ini dapat memunculkan inti sari pandangan atau pemikiran dari manusia tersebut dalam mendapatkan apa yang diinginkannya. Tingkat pemikiran yang filosofis atau tingkat dimana manusia melakukan pencapaian kedalaman terhadap kebijakannya menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya, akan mampu memberikan arah atau jalan bagi penentuan sikapnya dalam memandang kebudayaan yang dihidupinya.
·       Lebih lanjut Lois Leahy (1993:219) menegaskan bahwa sinar visi filsafat memungkinkan kita menyaksikan empat faktor yang sama dengan faktor-faktor pendidikan lestari, yakni (1) suatu proses yang terurai dalam waktu dan ruang, (2) suatu proses yang mengarah pada pengembangan seluruh potensi pribadi manusia yang konkret, (3) suatu proses yang dipandu oleh pencarian koherensi dan keseimbangan, (4) suatu proses yang ditentukan, atau lebih tepatnya, dijiwai oleh otodidaksi (pengajaran itu sendiri). Pemaknaan keempat faktor ini sangat menekankan adanya suatu penggalian dari manusia itu sendiri terhadap dirinya yang memiliki banyak kemungkinan dalam menemukan berbagai hal yang ditemukannya dalam kehidupan. Hal ini sangat berarti dalam menumbuhkan maupun melahirkan khazanah pendidikan itu sendiri dalam dirinya.
·       Secara spesifik Leahy menegaskan pada faktor keduanya, bahwa ”kebudayaan tidak terbatas pada dimensi kognitif pribadi manusia”. Pengetahuan saja tidak cukup meskipun pengetahuan adalah suatu bagian integral dan mutlak perlu dalam kebudayaan, dalam mewujudkan kebudayaan manusia. Oleh karena itu, pengembangan budaya harus menghormati sifat multidimensi kepribadian manusia, keutuhannya dalam hal raga, intelek, afeksi dan etis”.
·       Teater pada masa-masa klasik hingga munculnya modernisme masih bertitik tolak pada prinsip kebudayaan yang hanya bertumpu pada hal-hal baku dalam pemikiran manusia. Bahkan, seolah-olah pemikiran manusia telah berhenti ketika titah sang dewa dikumandangkan, atau tatanan sosial tercipta oleh kaum borjuasi. Pemberontakan kaum Romantik yang dipelopori oleh Wolfgang von Goethe misalnya, tidak mampu menyelaraskan tatanan sosial Jerman dalam memerangi sikap tunduk dan cenderung membabi-buta terhadap borjuasi. Perasaan dan pendirian kemanusiaan benar-benar tersingkirkan hanya untuk mempertahankan kekuasaan maupun untuk sekedar mempertahankan kehidupan. Masa-masa perbudakan terhadap segala aspek kehidupan tersebut --baik dari segi intelektual, birokrasi hingga cara hidup di dalam rumah tangga, sangat memprihatinkan.
·       Babak baru dalam memandang kebudayaan di teater baru tumbuh di abad dua puluh, tepatnya di pertengahan abad dua puluh yang ditandai dengan lahirnya drama-drama Absurd dan munculnya seni eksperimenal. Apa yang dilakukan Antonin Artaud atau kemudian dikenal dengan metode Artaudian, mulai memenuhi pemikiran teater yang hendak mengubah kedudukan manusia yang telah mengalami perbudakan panjang sejarah teater dan sejarah pemikiran manusia.
·       Artaud misalnya, melihat posisi seorang sutradara justru sebagai tirani dari aktor. Begitu pula teks lakon yang hanya dihafalkan oleh aktor untuk kemudian dipertontonkan pada publik. Ini merupakan persoalan kebudayaan yang mendasar dalam teater, ketika persoalan kemanusiaan harus menjadi pilihan dalam pemanusiaan teater.
·       Dalam pergerakan teater-teater di Indonesia terlihat jelas bagaimana para pelakunya sangat menghormati dirinya ”diperbudak” oleh kenyataan teater yang di pandang sebagai suatu pelaksanaan metode menjelaskan, atau lebih jauh mengajari atau menuntun orang lain menuju suatu perilaku yang lebih baik. Teater merupakan tontonan dan tuntutan telah menjadi bahasa penting dalam eksplorasi teater di Indonesia.
·       Namun demikian, satu hal yang kurang disadari bahwa dalam teater-teater pasca-modern, atau ketika teater absurd mulai mempertegas posisi menjadi teater yang melihat kegagalan manusia dalam menggunakan logika kehidupan sehari-hari atau kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupannya, maka teater bukan lagi sebagai tontonan dan tuntunan. tetapi, lebih jauh sebagai wacana pendidikan. Wacana pendidikan disini berarti bahwa teater menghindarkan diri berposisi sebagai pihak yang paling benar. Teater bukan dewa atau tuhan baru yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Teater hanya bagian kecil saja dalam memecahkan atau membangkitkan kesadaran manusia dalam memandang kehidupan yang menurut manusia itu sendiri dilakukan sebagai seharusnya ia menghadapinya.
·       Konsekuensi logis dari hal posisi teater yang demikian adalah tuntutan bagi manusia, atau pelaku teater dengan seluruh pihak yang terlibat didalamnya --termasuk penonton, untuk tidak menyerahkan dirinya kepada kenyataan yang tidak memiliki ikatan dan entitas kebudayaan dalam dirinya. Pengertian kebudayaan disini dapat merupakan rangkaian kesejarahan dari manusia itu sendiri, atau para pelaku dan pihak yang terlibat dalam teater. Karena, melalui pengenalan terhadap kesejarahan hidupnyalah, manusia dapat membangun kebudayaannya, sekaligus membangun teaternya.
·       Atmosfir pendidikan yang lahir dalam hubungan teater dan kebudayaan, kemudian menimbulkan sikap dan pandangan kesetaraan. Seorang koreografer Jepang bernama Keiko Takeya yang pernah melakukan kerjasama dan membuat karya kolaborasi dengan sutradara teater Jepang, penari Thailand dan pemusik Indonesia mengingatkan bahwa kesetaraan hubungan di dalam kerja teater itu akan lebih memberikan pendidikan yang kondusif. Hubungan aktor dan sutradara bukan hubungan guru dan murid, tetapi hubungan antar manusia. Semua pihak yang terlibat dalam suatu kerja teater harus mampu melepaskan dirinya dari ikatan primordial, struktural dan kebangsaan. Teater harus lahir dari seluruh jiwa dan raga manusia yang berada dalam posisi kebudayaan yang sama, yakni kebudayaan manusia.

Sumber:
Autar Abdillah, Jurnal Padma, Perdana tahun I September 2002, hal. 45-51

Ringkasan

Teater tumbuh dengan korelasi kebudayaan yang luas. Namun demikian, kesadaran masyarakat tidaklah selalu sejalan dengan korelasi kebudayaan yang hidup bersama dirinya. Disinilah posisi sutradara sangat menentukan dalam membuat berbagai pilihan kreatifnya.

Topik Diskusi

1.    Bagaimana menurut pendapat anda hubungan teater dengan kebudayaan?
2.    Bagaimana bila teater tidak sejalan atau tidak berkorelasi dengan masyarakat yang membangun kebudayaannya. Jelaskan pendapat anda
3.    Apakah anda percaya, bahwa teater di Indonesia menyepakati dirinya diperbudak oleh drama? Dan, apa yang dimaksudkan Artaud, bahwa sutradara merupakan tirani dalam teater. Jelaskan pendapat anda


Bersambung ke Pertemuan 15









Daftar Pustaka

Artaud., Antonin, The Theatre and Its Double, New York: Grove Press Inc
         1958

Cohen, Robert., Theatre Brief Edition, California: Mayfield Publishing Company.
         1983

Leahy., Louis, Manusia, Sebuah Misteri, sintesa filosofis tentang makhluk paradoksal,        1993    Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Roose-Evans., James, Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, London:    1989    Routledge


Tidak ada komentar:

Posting Komentar