TEATER MODERN
Pertemuan ke 14
TEATER DAN KEBUDAYAAN
·
Teater dipandang sebagai
salah satu seni yang memiliki banyak kemungkinan melakukan protes atau
perlawanan terhadap kekuasaan atau rezim yang menjalani suatu pemerintahan.
Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, bila teater dipandang sebagai manifestasi
kehidupan yang nyata dihadapi oleh setiap umat manusia. Bagaimanapun juga,
masih banyak bidang kehidupan lain dapat melakukan protes atau perlawanan yang
lebih signifikan, sebut saja misalnya, partai politik dan demonstrasi
mahasiswa, LSM dan buruh. Namun demikian, pandangan yang menempatkan teater
lebih aktif dalam mengeksplorasi sisi kekuasaan tersebut, tidak dapat
dipungkiri begitu saja. Untuk itu, diperlukan suatu penjelasan yang lebih
konkrit tentang bagaimana teater tersebut sesungguhnya dalam melakukan
eksplorasi-eksplorasi yang bertitik tolak dari penanaman kehidupan manusia yang
berkorelasi dengan kebudayaan sebagai wacana pendidikan yang paling dominan.
·
Teater memang memiliki
“alat” yang paling konkrit berupa pengucapan langsung terhadap suatu peristiwa
atau kejadian. Pengucapan tersebut bisa secara verbal maupun non verbal
disampaikan kepada publiknya. “Alat” teater tersebut sepertinya tidak terbatas
dalam penggunaannya. Sehingga, teater --tidak berlebihan bila dianggap lebih
memiliki peluang produktif menciptakan perubahan dalam kehidupan sosial maupun
kebudayaan. Teater dan Kebudayaan merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan,
karena teater lahir dari suatu cara hidup yang dibangun oleh masyarakat atau
manusia pencipta kebudayaan itu sendiri.
·
Di banyak negara-negara dunia ketiga, teater masih
menempatkan posisi yang tidak ”menguntungkan” dari segi pandangan politik.
Teater seolah-olah ”barang haram” atau suatu aktivitas individu maupun kelompok
yang dapat menggangu tatanan sosial maupun kebudayaan tertentu yang telah
ditanamkan pada suatu masyarakat.
·
Era pemerintahan Orde Baru di Indonesia misalnya,
telah terbukti bagaimana teater dilarang pertunjukannya atau dilarang
sosialisasinya, karena terdapat kata-kata maupun tema serta gerak geriknya yang
mengindikasikan perlawanan terhadap kekuasaan yang sedang bertahta. Kita masih
ingat bagaimana Opera Kecoa dari
Teater Koma Jakarta yang dipertunjukkan di Graha Bhakti Budyaa Taman Ismail
Marzuki (TIM) Jakarta di segel oleh pihak berwajib, karena di anggap
mengespresikan situasi kekuasaan yang sedang berlangsung. Begitu pula dengan
pertunjukan teater Marsinah Menggugat
yang digelar oleh teater yang didalamnya terdiri dari para buruh di Gelanggang
Remaja Bulungan Jakarta.
·
Bahkan di Kuba,
seluruh penonton pertunjukan teater yang sedang asyik menyaksikan pertunjukan,
di giring ke dalam sejumlah kendaraan terbuka untuk kemudian dijebloskan ke
dalam penjara tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
·
Pertunjukan teater pada saat-saat tertentu memang
sedemikian rumit untuk diselenggarakan. Begitu pula dengan diskusi-diskusi yang
membicarakan atau yang melakukan kajian terhadap teater. Maka, tidaklah
mengherankan bila pertunjukan dan diskusi buku-buku tentang teater --juga
disiplin ilmu lainnya, nyaris tidak menyentuh kenyataan kemanusiaan atau
kehidupan yang ada.
·
Bentuk-bentuk penyaringan terhadap semua aktivitas
tersebut sudah sangat ketat, dan akhirnya ”membunuh” kehidupan teater. Hingga
saat ini, hal semacam itu masih saja menghantui, meskipun dalam bentuk yang
lain. Yakni, lahirnya manusia-manusia yang berpikiran sempit, dan memandang
sebelah mata terhadap teater. Pandangan yang sempit dan melakukan
pengkotak-kotakan terhadap dunia kesenian pada umumnya, dan teater khususnya
telah pula menghambat terjalinnya sinergi antara satu kesenian dengan kesenian
lainnya. Misalnya, antara tari dan teater, antara seni rupa dan teater, antara
musik dan teater, dan seterusnya.
·
Padahal, apa yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian.
Paling tidak, seperti yang dikemukakan oleh James Roose-Evans dalam bukunya Theatre Experimental, from Stanislavsky to
Peter Brook (1989: 91-100), bahwa tari modern yang dibangun oleh Martha
Graham dan Alwin Nokolais memberikan kontribusi yang besar terhadap teater.
Pengakuan semacam ini sangat banyak muncul dalam dekade lima puluhan, seiring
dengan semakin terbukanya kreativitas seni dalam melakukan berbagai eksplorasi.
Keterbukaan eksplorasi tersebut juga dimungkinkan oleh semakin jenuhnya para pelaku
seni dalam pengkotak-kotakan seni.
·
Dalam teater sendiri, pencipta ide ”Teater Miskin” Jerzy Grotowski misalnya,
menolak bahwa teater merupakan kumpulan dari sejumlah disiplin, seperti tari,
musik, seni rupa dan sastra. Namun demikian, pendapat bahwa teater merupakan
kumpulan dari berbagai disiplin ilmu masih sangat kental dalam pendidikan seni
maupun dalam aktivitas seni pada masyarakat kita.
·
Antonin Artaud yang menggagas ”Teater Kacau” (Theatre of Cruelty) dalam bukunya The Theatre and Its Double (1958:7-13)
misalnya, menegaskan bahwa persoalan teater sekarang ini berhadapan dengan
persoalan kebudayaan manusia-manusia yang lapar. Jadi, teater sejenak harus
ditinggalkan karena manusia masih membutuhkan makan ketimbang terlibat dalam
teater. Begitu pula dengan kebudayaan. Dalam dunia yang lapar, perhatian dan
usaha-usaha membangun kebudayaan sejenak menjadi tidak penting.
·
Persoalan-persoalan kemasyarakatan dan upaya membangun
perekonomian yang maju menjadi prioritas utama. Untuk itu, kita tidak perlu heran
bila pemerintah Indonesia misalnya, menempatkan kesenian pada umumnya, dan
teater khususnya pada prioritas yang paling bawah. Bahkan, terhadap dunia
pendidikan pun, prioritas utama tidak diberikan. Di satu sisi, barangkali ada
benarnya. Bagaimana mungkin manusia dapat menikmati kesenian bila perut mereka
kosong dan tidak mampu melakukan pencerapan yang memadai. Namun di sisi lain,
asumsi ini harus dipertimbangkan lagi, karena kesenian bukan persoalan mengisi
perut, tetapi merupakan permasalahan besar umat manusia dalam membangun tatanan
kehidupan yang mereka jalani di dunia. Teater merupakan investasi kebudayaan
dengan membangun spirit kehidupan, bukan persoalan mengisi perut, tetapi
persoalan mempertimbangkan secara bijaksana tatanan kehidupan manusia yang
seharusnya di tempuh dan di bangun dalam seluruh tatanan kehidupan yang ada.
·
Kehidupan manusia memiliki unsur pembangun yang sangat
kompleks. Mulai dari kemampuannya berbicara, berilmu pengetahuan, moral, etika
hingga keberadaannya sebagai pemimpin di muka bumi. Oleh karena itu, diperlukan
media yang memadai untuk membuka jalan bagi terselenggaranya unsur-unsur
pembangun bagi manusia. Salah satunya adalah kesenian, dan lebih spesifik lagi
adalah teater.
Teater dalam Kehidupan
·
Teater bukan hanya suatu pertunjukan. Ia adalah
kehidupan itu sendiri. Secara spesifik teater bukanlah semata-mata peniruan
ataupun cermin, tetapi ia adalah kehidupan yang dijalani umat manusia dalam
memahami dan menjalani segala perbuatan yang dilakukannya di bumi.
·
Pada awal dipahaminya teater, yakni dari bangsa
primitif yang melakukan perburuan dan anak-anak yang bermain “mama-papa” serta
upacara-upacara ritual bangsa-bangsa yang lahir paling awal di dunia, semua itu
menunjukkan satu hal, bahwa semua yang terjadi itu berangkat dari apa yang
terjadi dalam kehidupan, biasa realistik --yakni, yang berangkat dari kehidupan
sehari-hari, maupun yang non realitisk --yakni, yang merupakan imajinasi
manusia dalam memandang kehidupan tersebut.
·
Memang, semua teater berangkat dari kehidupan yang
dihadapi oleh para pelakunya. Tetapi, tidak semua teater memahami betul
bagaimana mereka seharusnya memasuki kehidupan tersebut. Karena kehidupan yang
dimasuki tersebut juga tidak dapat menghindarkan diri dari persoalan-persoalan
di mana mereka harus menempatkan matra kebudayaannya sebagai bagian penting
dalam memasuki teater. Teater-teater di dunia memiliki jalan sejarah yang
berbeda-beda. Jalan sejarah tersebut bukan saja melahirkan isme-isme teater,
tetapi juga melahirkan ideologi-ideologi baru dalam memahami kehidupan. Seperti
munculnya teater modern yang berangkat dari tiga aspek penting, yakni politik,
sosial, dan revolusi pemikiran (Cohen: 173). Dari ketiga aspek itu pun dapat
dibedakan lagi dengan beberapa aspek yang menunjang pemahaman kehidupan atas
dasar kebudayaan yang dibangun oleh berbagai bangsa.
·
Di Jerman, awal kebangkitan teater modern yang
dipelopori dengan munculnya konsep dramaturgis “Strum und Drung” oleh Goethe
dan Schiller merupakan sebuah bagian dari perlawanan kedua dramawan dan penyair
ini terhadap kekuatan borjuasi yang sedemikian rupa menguasai tatanan pemikiran
masyarakat Jerman, seiring dengan lahirnya gerakan Romantisme. Lain lagi dengan
pelopor teater Realisme seperti pengarang dan penyair Norwegia Hendrik Ibsen
yang menghadapi kebobrokan moral masyarakat hingga pelecehan seksual kalangan
petinggi kerajaan atau kalangan bangsawan.
·
Perkembangan yang sedemikian pesat dalam teater modern
dengan munculnya gerakan simbolisasi yang merupakan bagian dari bergeloranya
stilisasi dalam teater, pandangan kehidupan semakin menajam dan memperlihatkan
bagaimana teater sangat peduli pada pertumbuhan tatanan kebudayaan di
tengah-tengah masyarakat.
·
Penolakan terhadap teater realistik yang hanya
berbicara gambaran kehidupan nyata tanpa memberikan kesempatan konstruksi
imajinatif manusia, membuat kalangan simbolis dengan sejumlah gerakannya,
seperti Eksprsionisme. Teaterikalisme, Drama Eksistensialisme, Teater Absurd,
Teater Alienasi, Komedi Kontemporer Manner, maupun Supra-realisme, merasakan betapa
kehidupan berkemungkinan mengalami penyempitan.
·
Penyempitan kehidupan itu hanya akan membuat manusia
menjadi makhluk yang patuh tanpa sebab, atau membisu seribu bahasa, ketika
tantangan kehidupan mengalir di depan mata.
·
Persoalan-persoalan seperti kegagalan komunikasi antar
manusia, kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupan serta ketidakberdayaan
manusia dalam menghadapi gencarnya teknologi terapan yang mengantar manusia
pada kenisbian identitas kemanusiaan membuat banyak kalangan teater harus mengoreksi
kembali perlakuan mereka terhadap naskah lakon dan posisi mereka dalam
menentukan berlangsungnya proses berteater.
·
Teater bukan lagi sebuah kenyataan dalam kehidupan,
tetapi merupakan proses-dengan-kehidupan itu sendiri. Hal ini artinya,
bahwa teater tidak berbicara tentang kehidupan semata, tetapi bersama-sama
dengan kehidupan itu meletakkan kerangka perjalanan kehidupan yang harus
dijalani manusia.
Kebudayaan sebagai wacana Pendidikan
·
Louis Leahy (1993:218) menegaskan bahwa kebudayaan
bukanlah suatu data kodrati yang diwariskan, maka kebudayaan harus didapatkan
dan di raih oleh tiap manusia yang sedang berkembang, melalui suatu proses
perkembangan yang mempunyai prinsip batin di dalam intelegensi dan kebebasan
tiap pribadi; itulah perolehan yang terkandung di dalam lingkungan sosial.
Dengan demikian, maka lingkungan sosial bukan sesuatu yang terlahir begitu
saja, tetapi harus dari proses yang juga panjang dalam membangun kebudayaan
manusia.
·
Dalam cara hidup teater pun terlihat bagaimana segala
daya upaya ditumbuhkan dalam melahirkan segala aspek yang memungkinkan manusia
melakukan tindakan eksploratif terhadap perjalanan kehidupannya.
·
Di dalam diri manusia terkandung semangat maupun
motivasi mendirikan keinginan-keinginan maupun kehendak untuk berbuat. Dari
sini proses semacam ini dapat memunculkan inti sari pandangan atau pemikiran
dari manusia tersebut dalam mendapatkan apa yang diinginkannya. Tingkat
pemikiran yang filosofis atau tingkat dimana manusia melakukan pencapaian
kedalaman terhadap kebijakannya menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya, akan
mampu memberikan arah atau jalan bagi penentuan sikapnya dalam memandang
kebudayaan yang dihidupinya.
·
Lebih lanjut Lois Leahy (1993:219) menegaskan bahwa
sinar visi filsafat memungkinkan kita menyaksikan empat faktor yang sama dengan
faktor-faktor pendidikan lestari, yakni (1) suatu proses yang terurai dalam
waktu dan ruang, (2) suatu proses yang mengarah pada pengembangan seluruh
potensi pribadi manusia yang konkret, (3) suatu proses yang dipandu oleh
pencarian koherensi dan keseimbangan, (4) suatu proses yang ditentukan, atau
lebih tepatnya, dijiwai oleh otodidaksi (pengajaran itu sendiri). Pemaknaan
keempat faktor ini sangat menekankan adanya suatu penggalian dari manusia itu
sendiri terhadap dirinya yang memiliki banyak kemungkinan dalam menemukan
berbagai hal yang ditemukannya dalam kehidupan. Hal ini sangat berarti dalam
menumbuhkan maupun melahirkan khazanah pendidikan itu sendiri dalam dirinya.
·
Secara spesifik Leahy menegaskan pada faktor keduanya,
bahwa ”kebudayaan tidak terbatas pada dimensi kognitif pribadi manusia”.
Pengetahuan saja tidak cukup meskipun pengetahuan adalah suatu bagian integral
dan mutlak perlu dalam kebudayaan, dalam mewujudkan kebudayaan manusia. Oleh
karena itu, pengembangan budaya harus menghormati sifat multidimensi
kepribadian manusia, keutuhannya dalam hal raga, intelek, afeksi dan etis”.
·
Teater pada masa-masa klasik hingga munculnya
modernisme masih bertitik tolak pada prinsip kebudayaan yang hanya bertumpu
pada hal-hal baku dalam pemikiran manusia. Bahkan, seolah-olah pemikiran
manusia telah berhenti ketika titah sang dewa dikumandangkan, atau tatanan
sosial tercipta oleh kaum borjuasi. Pemberontakan kaum Romantik yang dipelopori
oleh Wolfgang von Goethe misalnya, tidak mampu menyelaraskan tatanan sosial
Jerman dalam memerangi sikap tunduk dan cenderung membabi-buta terhadap
borjuasi. Perasaan dan pendirian kemanusiaan benar-benar tersingkirkan hanya
untuk mempertahankan kekuasaan maupun untuk sekedar mempertahankan kehidupan.
Masa-masa perbudakan terhadap segala aspek kehidupan tersebut --baik dari segi
intelektual, birokrasi hingga cara hidup di dalam rumah tangga, sangat
memprihatinkan.
·
Babak baru dalam memandang kebudayaan di teater baru
tumbuh di abad dua puluh, tepatnya di pertengahan abad dua puluh yang ditandai
dengan lahirnya drama-drama Absurd dan munculnya seni eksperimenal. Apa yang
dilakukan Antonin Artaud atau kemudian dikenal dengan metode Artaudian, mulai
memenuhi pemikiran teater yang hendak mengubah kedudukan manusia yang telah
mengalami perbudakan panjang sejarah teater dan sejarah pemikiran manusia.
·
Artaud misalnya, melihat posisi seorang sutradara
justru sebagai tirani dari aktor. Begitu pula teks lakon yang hanya dihafalkan
oleh aktor untuk kemudian dipertontonkan pada publik. Ini merupakan persoalan
kebudayaan yang mendasar dalam teater, ketika persoalan kemanusiaan harus
menjadi pilihan dalam pemanusiaan teater.
·
Dalam pergerakan teater-teater di Indonesia terlihat
jelas bagaimana para pelakunya sangat menghormati dirinya ”diperbudak” oleh
kenyataan teater yang di pandang sebagai suatu pelaksanaan metode menjelaskan,
atau lebih jauh mengajari atau menuntun orang lain menuju suatu perilaku yang
lebih baik. Teater merupakan tontonan dan tuntutan telah menjadi bahasa penting
dalam eksplorasi teater di Indonesia.
·
Namun demikian, satu hal yang kurang disadari bahwa
dalam teater-teater pasca-modern, atau ketika teater absurd mulai mempertegas
posisi menjadi teater yang melihat kegagalan manusia dalam menggunakan logika
kehidupan sehari-hari atau kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupannya,
maka teater bukan lagi sebagai tontonan dan tuntunan. tetapi, lebih jauh
sebagai wacana pendidikan. Wacana pendidikan disini berarti bahwa teater
menghindarkan diri berposisi sebagai pihak yang paling benar. Teater bukan dewa
atau tuhan baru yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Teater
hanya bagian kecil saja dalam memecahkan atau membangkitkan kesadaran manusia
dalam memandang kehidupan yang menurut manusia itu sendiri dilakukan sebagai
seharusnya ia menghadapinya.
·
Konsekuensi logis dari hal posisi teater yang demikian
adalah tuntutan bagi manusia, atau pelaku teater dengan seluruh pihak yang
terlibat didalamnya --termasuk penonton, untuk tidak menyerahkan dirinya kepada
kenyataan yang tidak memiliki ikatan dan entitas kebudayaan dalam dirinya.
Pengertian kebudayaan disini dapat merupakan rangkaian kesejarahan dari manusia
itu sendiri, atau para pelaku dan pihak yang terlibat dalam teater. Karena,
melalui pengenalan terhadap kesejarahan hidupnyalah, manusia dapat membangun
kebudayaannya, sekaligus membangun teaternya.
·
Atmosfir pendidikan yang lahir dalam hubungan teater
dan kebudayaan, kemudian menimbulkan sikap dan pandangan kesetaraan. Seorang
koreografer Jepang bernama Keiko Takeya yang pernah melakukan kerjasama dan
membuat karya kolaborasi dengan sutradara teater Jepang, penari Thailand dan
pemusik Indonesia mengingatkan bahwa kesetaraan hubungan di dalam kerja teater
itu akan lebih memberikan pendidikan yang kondusif. Hubungan aktor dan
sutradara bukan hubungan guru dan murid, tetapi hubungan antar manusia. Semua
pihak yang terlibat dalam suatu kerja teater harus mampu melepaskan dirinya
dari ikatan primordial, struktural dan kebangsaan. Teater harus lahir dari
seluruh jiwa dan raga manusia yang berada dalam posisi kebudayaan yang sama,
yakni kebudayaan manusia.
Sumber:
Autar Abdillah, Jurnal Padma, Perdana tahun I
September 2002, hal. 45-51
Ringkasan
Teater tumbuh dengan korelasi
kebudayaan yang luas. Namun demikian, kesadaran masyarakat tidaklah selalu
sejalan dengan korelasi kebudayaan yang hidup bersama dirinya. Disinilah posisi
sutradara sangat menentukan dalam membuat berbagai pilihan kreatifnya.
Topik
Diskusi
1.
Bagaimana menurut pendapat anda hubungan teater dengan
kebudayaan?
2.
Bagaimana bila teater tidak sejalan atau tidak
berkorelasi dengan masyarakat yang membangun kebudayaannya. Jelaskan pendapat
anda
3.
Apakah anda percaya, bahwa teater di Indonesia
menyepakati dirinya diperbudak oleh drama? Dan, apa yang dimaksudkan Artaud,
bahwa sutradara merupakan tirani dalam teater. Jelaskan pendapat anda
Bersambung ke Pertemuan
15
Daftar Pustaka
Artaud., Antonin, The Theatre and Its Double, New York:
Grove Press Inc
1958
Cohen, Robert., Theatre Brief Edition, California:
Mayfield Publishing Company.
1983
Leahy., Louis, Manusia, Sebuah Misteri, sintesa filosofis
tentang makhluk paradoksal, 1993 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Roose-Evans., James, Experimental Theatre, from Stanislavsky to
Peter Brook, London: 1989 Routledge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar