TEATER MODERN
Pertemuan
ke 15
TEATER KONTEKSTUAL
SEBUAH CATATAN UNTUK TEATER INDONESIA
·
Di atas panggung, kita menyaksikan seorang perempuan
berusia belasan tahun yang merupakan salah seorang siswa SMU di Jawa Timur,
bersama dua temannya menampilkan sebuah adegan yang memperlihatkan kepada
penonton, bahwa diantara mereka sedang terjadi pembicaraan yang tidak terlalu
serius. Mereka bermain kartu di sebuah pos ronda. Perempuan A, tiba-tiba
mendengar suara Azan (panggilan sembahyang untuk pemeluk agama Islam).
Perempuan A ini, dengan sedikit sempoyongan sambil memegang botol yang mirip
botol minum keras, bertanya, “suara apa itu?”. Perempuan B menjawab, “itu suara
azan”. Perempuan A menjawab, “Azan?”. “Apa itu azan?”. Perempuan C menjelaskan
apa yang dimaksud dengan azan. Perempuan A, kembali mempertanyakan, “Azan itu
apa?”.
·
Dialog dalam adegan sebuah pertunjukan teater diatas,
hendak menegaskan adanya seseorang yang tidak mengetahui apa itu azan.
Sepintas, kita tentu bisa memahami, bahwa ada orang yang tidak tahu Azan itu
merupakan kata yang memiliki makna penting dalam panggilan sembahyang umat
Islam. Namun demikian, apakah kita bisa memahami, untuk seorang yang sudah
berusia belasan tahun, hidup dalam perilaku manusia Indonesia, tidak mengenal
azan. Dalam keadaan tidak sadar bagaimanapun, selagi kita masih bisa mengenal
orang-orang di sekeliling kita, kalimat-kalimat yang dikumandangkan seorang
Mu’azzim itu, sangat mudah untuk dipahami.
·
Seorang pengarang dalam cerita ini, tentu tidak
bermaksud untuk menunjukkan kepada kita, bahwa seorang wanita berusia belasan
tahun itu tidak mengenal azan, tetapi pengarang drama ini hendak menunjukkan
kepada kita, bahwa ada salah seorang warga yang memiliki moralitas tertentu
yang tidak peduli dengan adanya suara azan tersebut. Sebagai pembaca maupun
penonton kita memahami apa yang terjadi. Tetapi, apakah kita bisa memahami
cerita ini, bila kita menghubungkan konteks cerita dengan konteks pelakunya
(remaja berusia belasan tahun dan tinggal di Indonesia). Inilah persoalan kita yang
pertama, yakni hubungan konteks cerita dengan konteks pelaku.
·
Dalam teater-teater yang menggunakan naskah drama
sebagai sumber pertunjukannya, memang terjadi semacam dilema dalam
menghubungkan konteks cerita atau drama dengan pelakunya. Seorang anak berusia
lima tahun di Taman Kanak-kanak, memerankan seorang Bapak atau Ibu yang terjadi
dalam lingkungan mereka. Kita juga bisa menemukan seorang anak sekolah yang
memerankan kakek atau nenek, seorang pemabuk, seorang pahlawan perang dan
sebagainya. Semua peran-peran itu, bukanlah diri mereka yang sebenarnya, tetapi
diri atau pengalaman orang lain yang ditirukan atau dicoba untuk dijelmakan
kembali menjadi seorang tokoh atau peran, berdasarkan sebuah naskah drama.
Meskipun peran itu dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, tetap saja
peran itu bukan diri dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi,
semua itu dapat dilakukan dan terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya.
·
Cara berteater yang sudah mengakar ratusan hingga
ribuan tahun itu, sangat mudah dipahami, dan menjadi cara berteater kita yang
sangat umum dan lazim, serta mendapat sambutan yang luas dari masyarakat.
Bahkan, jika berteater bukan dengan cara seperti itu, dianggap bukan teater
yang sesungguhnya, tetapi eksplorasi gerak, mini kata, “teater murni”, “teater
total”, dan sebagainya. Inilah persoalan kita kedua, yakni kebiasaan masyarakat
dalam memandang dan memperlakukan teater dengan peniruan pengalaman yang berada
diluar diri mereka sendiri.
·
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat penonton. Dalam
konteks ini muncul anggapan, bahwa tontonan itu adalah tuntunan. Tontonan atau
pertunjukan teater diletakkan dalam konteks untuk mendapatkan “pelajaran”,
“ajaran”, “pendidikan”, maupun “pengarahan” melalui suatu instrumen yang
bernama pesan. Teater dituntut untuk dapat memunculkan pesan tertentu, dan
penonton akan memberikan pertimbangan atas pesan tersebut. Pemusatan pada pesan
ini melahirkan suatu teater dengan konklusi “hitam-putih”, “baik-buruk”, atau
“kebaikan melawan kejahatan”. Akibatnya, penonton tidak memiliki kesempatan
untuk membangun konteks pertunjukan atas nama dirinya sendiri. Inilah persoalan
kita ketiga, yakni kesempatan penonton untuk menemukan sendiri konteks
pertunjukan teater dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka.
·
Dari ketiga persoalan tersebut, marilah kita coba
lihat sebuah pertunjukan lain di Gelanggang Olahraga Bulungan Jakarta Selatan,
beberapa tahun yang lalu. Sebuah panggung dipenuhi oleh balon-balon warna
warni. Sejumlah orang menggunakan pakaian pesta. Di tengah panggung terdapat
sebuah kue tart, lengkap dengan lilin dan pemotong kue, serta minuman. Salah
seorang dari kerumunan orang yang berada di situ –ada yang duduk dan berdiri,
menyatakan selamat datang di pesta ulang tahun yang diperingatinya. Suasana
ulang tahun pun terjadi. Semua orang merasakan, bahwa dirinya sedang ikut
merayakan ulang tahun. Antara penonton dan pemain tidak ada pemisahan yang
tegas. Penonton bahkan punya hak bicara, karena dalam pertunjukan tersebut,
penonton memang adalah undangan dari yang sedang berulang tahun.
·
Ilustrasi pertunjukan di atas, mencoba memecahkan tiga
persoalan kita sebelumnya. Pertanyaan kita, apakah pertunjukan teater semacam
ini yang disebut “Teater Kontekstual?”. Jika kita membuka kamus maupun indeks
tentang teater, maka hampir pasti kita tidak menemukan istilah yang aneh ini.
Dalam arsitektur, kita mengenal kontekstualisme, yaitu sebuah gerakan yang
menekankan pengabaian terhadap arsitektur modern untuk memahami dan menanggapi
konteks fisik sebuah bangunan (steven Connor, 1989: 73). Apakah kita bisa
menariknya dalam pembicaraan tentang “Teater Kontekstual”? Tentu saja tidak,
karena terdapat perbedaan signifikan antara pengertian “kontekstualisme” dengan
realitas teater itu sendiri.
·
Dalam teater ada suatu contoh tentang Teater of
fact, yaitu teater yang mencoba untuk menggambarkan peristiwa yang sedang
aktual dengan pertunujukan yang otentik, dan berkembang di Amerika sekitar
1930-an, misalnya lakon The Deputy, dan The Investigation (Edwin
Wilson, 1998: 450). Medua massa –terutama surat kabar, menjadi sumber
penggalian mereka. Teater ini memang mencoba untuk membangun konteks cerita
dengan konteks kehidupan masyarakat, terutama dari pergumulan informasi yang
sedang berkembang. Metode semacam ini cukup banyak kita temukan dalam
teater-teater di Indonesia, seperti yang dilakukan Teater Gandrik, Teater Koma,
maupun Teater Mandiri. Isu-isu aktual dikemas dalam bentuk teater. Dan,
ternyata juga mampu menarik minat masyarakat. Apakah teater semacam ini dapat
kita sebut teater “kontekstual”? Tentu juga tidak, karena konteks dibangun atas
dasar peristiwa di luar diri pelaku dalam teater tersebut.
·
Untuk mendapatkan jawabannya, saya ingin mengajak kita
semua untuk memasukinya lewat sebuah pendekatan pembelajaran yang kini mulai
digunakan dalam dunia pendidikan kita, yaitu Contextual Teaching and
Learning (CTL). Sedikitnya terdapat lima unsur yang mendukung terciptanya
“Teater Kontekstual” dengan memahami terlebih dahulu prinsip konstruktivistik,
yakni terjadinya pengaktifan pengerahuan yang sudah dimiliki, muncul dan
didapatkannya pengetahuan baru, terjadinya pemahaman terhadap suatu
pengetahuan, dapat dipraktekkannya pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan,
serta dapat melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut (dimodifikasi dari pandangan John A. Zahorik (1995: 14-22).
·
Disamping itu, teater “Kontekstual” juga menimbulkan
rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif,
membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan
bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang
sesungguhnya datang dari penonton. Dalam prinsip teori “Membaca dan
Menyaksikan”, kita mengenal pula teori “Pembaca-Penanggap” (Susan Bennett,
1997: 20-85). Prinsip utamanya adalah titik utama membaca lakon maupun
menyaksikan pertunjukan adalah penemuan sendiri oleh pembaca maupun penonton
terhadap konteks keberadaan (sosial, psikologis, fisik, kebudayaan, ekonomi,
ideologi) dirinya, ketika menghadapi penandaan estetik atau karya-karya seni.
·
Akhirnya, saya mencoba merumuskan apa yang kita
bicarakan tentang “Teater Kontekstual” (untuk sementara), meminjam pernyataan
Peter Brook, “individu mempersembahkan kebenaran mereka yang paling mempribadi
kepada individu lain… membagi pengalaman kolektif bersama mereka”, dan
“pengalaman pribadi berhenti menjadi tujuan, dan kita mengarah pada penemuan
bersama” (Shomit Mitter, 2002, 157). Teater Kontekstual mengandaikan adanya
suatu penjelajahan yang berdasarkan kehidupan masing-masing individu, dan
menemukan konteksnya dalam kebersamaan dengan individu lainnya. Apakah ada
teater di Indonesia yang bekerja dengan prinsip seperti ini? Apakah prinsip ini
menjadi pilihan yang mungkin untuk kita lakukan? Apakah manfaatnya bagi kita semua?
Apakah cara berteater yang lain tidak kontekstual, atau perlu berada dalam
“jalur” teater kontekstual? Masih banyak pertanyaan lagi yang mesti kita
lontarkan pada “Teater Kontekstual”.
Ringkasan
Teater Kontekstual juga menimbulkan
rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif,
membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan
bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang
sesungguhnya datang dari penonton.
Topik
Diskusi
1.
Apakah yang anda pahami tentang teater kontekstual?
2.
Jelaskan pendapat anda konteks kerja teater dengan
lingkungannya.
3.
Cobalah identifikasi teater yang berkiblat pada
konteks publiknya
Bersambung ke Pertemuan 16
Daftar Pustaka
Bennett., Susan, 1997, Theatre Audience, London and New York:
Routledge
Connor, Steven, 1989, Postmodernist
Culture, An Introduction to Theories of the Contemporary, Oxford and
Cambridge: Basil Blackwell, Inc.
Mitter., Shomit, 2002, Sistem Pelatihan Stanislavsky, Brecht,
Grotowski dan Brook, penerjemah Yudi Aryani, Yogyakarta: MSPI dan arti
Wilson., Edwin, 1998, The Theatre Experience,
New York: McGraw-Hill Book Company.
Zahorik, John A., 1995, Constructivist Teaching
(Fastback 390), Bloomington, Indiana: Phi-Delta Kappa Educational Foundation.