TEATER MODERN
Pertemuan ke
13
PENONTON TEATER
Penonton
merupakan salah satu aspek penting dalam teater. Penonton teater merupakan
orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa teater. Ketika seorang
penonton menghadiri sebuah pertunjukan teater, maka di dalam diri mereka
terdapat sejumlah jalinan pengalaman yang mengantarkan pemahamannya pada
pertunjukan yang disaksikan. Pengalaman penonton teater menjadi aspek yang tak
dapat dipungkiri, karena melalui pengalaman tersebut, penonton dapat berinteraksi
secara intensif. Pengalaman penonton teater tidak pernah lahir begitu saja,
tetapi kehadirannya sangat ditentukan oleh bagaimana penonton tersebut
membangun hubungan dirinya dengan kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari
merupakan sumber dalam membangkitkan interaksi seorang penonton, sehingga
seseorang yang menjadi penonton teater, bisa memahami suatu pertunjukan teater
–sebagaimana diharapkan oleh para seniman atau pelaku teater tersebut.
Disamping itu, para pelaku teater juga dituntut untuk mampu memberikan
‘sunjektivikasi’ pertunjukannya pada sisi yang mampu memberikan rangsangan
lahirnya interaksi yang dinamis.
Hakikat Penonton Teater Modern
·
Kajian terhadap penonton teater maupun terhadap
penonton seni pertunjukan pada umumnya, hingga saat ini belum begitu banyak
ditemukan, khususnya dalam kjian seni pertunjukan maupun teater di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh rendahnya perhatian terhadap aspek penonton dalam
teater khususnya, dan seni pertunjukan atau bahkan seni-seni lain pada umumnya,
misalnya terhadap penonton di suatu pameran seni lukis, baik oleh kalangan
akademisi maupun seniman kreatornya. Pengabaian terhadap penonton ini sudah
menjadi bagian dari sejarah teater yang memandang penonton bukan sebagai aspek
atau unsur yang signifikan, karena penonton berada dalam aspek yang bukan
bersifat kreatif-artistik.
·
Namun demikian, penonton tetap menjadi sasaran utama
dari pertunjukan teater. Tanpa penonton, tentu teater tidak berarti. Kalau
terdapat seniman teater yang mengasumsikan bahwa ia tak membutuhkan penonton,
hal ini hanya menunjukkan kecongkakan semata atau ketidaktahuan akan makna
pentingnya kehadiran penonton, dan bukan sebuah sikap dan konsepsi yang positif
bagi perkembangan teater.
·
Penonton teater atau manusia pada umumnya, sangat peka
terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Peristiwa-peristiwa
tersebut sering menjadi ingatan yang mendalam. Bahkan, untuk
peristiwa-peristiwa tertentu, seperti peristiwa perkawinan, kelahiran dan ulang
tahun, dicatat dan dibukukan serta diletakkan di tempat-tempat khusus.
Peristiwa tersebut bukan sekedar sebuah dokumen yang dapat disaksikan di
kemudian hari, tetapi peristiwa tersebut selalu menjadi suatu pembangkitan rasa
harga diri, dan untuk itu selalu dipamerkan atau diperlihatkan kepada orang
lain. Peristiwa bukan saja sebuah pertunjukan tetapi juga sebuah proses
interaksi, yang sangat membutuhkan orang lain untuk menyaksikannya. Hal ini
merupakan titik awal yang sangat berarti dalam memahami peristiwa teater.
·
Susan Bannet menegaskan bahwa ‘persitiwa merupakan
proses interaksi yang mengandalkan kehadiran penonton untuk pencapaian
pengaruhnya. Sebuah pertunjukan, memang, tidak seperti karya cetakan, selalu
terbuka terhadap penerimaan yang segera maupun penerimaan publik, modifikasi atau
penolakan oleh orang yang menjadi tujuannya. Ini merupakan hubungan kompleks
yang tak terelakkan antara pertunjukan dan penonton...’.1
·
Berbagai temuan hubungan penonton dan pertunjukan pada
1970-an mulai gencar dilakukan oleh para pakar semiotika. Bahkan, kajian yang
semakin meluas tersebut mengarah pada upaya positif menemukan konsepsi
komunikasi teater yang memberikan pandangan baru terhadap aspek komunikasi
antara penonton dan teater sebagai seni pertunjukan. Seorang penggagas teater
yang menyebut teaternya “Teater Miskin” (poor theater), Jerzy Grotowski
bahkan “mendefenisikan” teaternya yang berpusat pada penonton dengan mengatakan
bahwa ‘Teater adalah pertemuan aktor dan penonton’2.
·
Berbagai temuan tersebut, tentu tidak terlepas dari
bagaimana penonton berupaya memenuhi berbagai kebutuhannya. Kebutuhan tersebut
ada yang bersifat sosial, ideologi, pendidikan hingga ekonomi. Hal ini
merupakan fitrah penonton yang tak terelakkan lagi.
·
Paradigma hubungan teater dengan penonton menjadi
kajian penting oleh beberapa ahli, diantaranya Roland Barthes, Raymond Picard,
Umberto Eco, Gustav Le Bon, Lawrence S. Wrightsman, Stanley Fish, Hans Robert
Jauss, Wendy Deutelbaum, Claude Bruzy, Marco De Marinis, Wilfried Passow, Erika
Fischer-Lichte, Anne Ubersfeld, dan lain-lain, baik yang berangkat dari studi
analisis drama maupun pada pertunjukan teater yang disaksikan langsung di
berbagai peristiwa teater.
Teater dan
Metafora
·
Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara
tentang teater di Indonesia dengan teater di belahan bangsa-bangsa Eropa dan
Amerika. Hal ini sedikit atau banyak mempengaruhi pula pandangan kita dalam
mengamati atau menganalisa persoalan yang berkaitan dengan penonton teater.
·
Di Indonesia, kita secara relatif dapat
dikatakan baru dalam memahami berbagai konsepsi yang ada dalam teater, baik itu
teater dalam pengertian pertunjukan maupun teater dalam konsepsi drama.
‘Kebaruan’ kita itu mempengaruhi sudut pandang dalam menempatkan kedudukan
teater ditengah-tengah masyarakat. Teater (di Indonesia) bisa menjadi tidak
penting ketika sebuah kekuatan politik menyatakan teater tidak layak
‘dikonsumsi’ masyarakat. Bahkan, masyarakat pun dapat melakukan penyerangan
terhadap teater, karena teater dipandang melakukan dekonstruksi religius yang
dikhawatirkan merusak tatanan tertentu dalam kehidupan keagamaan.
·
Di samping itu, kekuatan teknologi yang muncul pada
tahun 1900-an dan berkembang sangat pesat di abad dua puluh mempengaruhi
perilaku hidup masyarakat. Dalam konteks Indonesia, hal ini ditanggapi dengan
sikap ekstasi atau meledak-ledak. Hal ini disebabkan oleh kesempatan memasuki
era teknologi maupun era kebebasan individu yang menjadi salah satu ciri
penting dalam khazanah penonton teater tersebut, belum lama dinikmati secara
leluasa. Dengan kata lain, terdapat sejarah yang berbeda secara signifikan
ketika kita memposisikan teater dalam konstelasi masyarakat Eropa dan Amerika,
sehingga pemahaman terhadap subjek penandaan pun akan sangat berbeda.
·
Begitu pula dengan pemecahan-pemecahan teoritik maupun
praktis dalam kajian teater. Satu hal lagi adalah kemampuan dan minat baca
–khususnya untuk karya-karya drama, yang masih rendah di Indonesia, sehingga
penceritaan dalam teks drama masih dipandang sebagai sebuah fiksi semata, bukan
sebagai media atau perantara dari lahirnya sumber informasi yang dapat
mengantarkan seorang pembaca atau penonton pada suatu tempat yang menjadi
tujuan dari suatu penceritaan.
·
Namun demikian, kita memiliki beberapa konstruksi
pemikiran yang sama diantara masyarakat di seluruh dunia. Di satu sisi terdapat
persamaan dalam hal memposisikan manusia atau penonton teater sebagai makhluk
yang memiliki beberapa kecenderungan atau permasalahan kemanusiaan yang
dipandang secara universal. Di sisi lain adalah kaidah atau perspektif logis
dalam menentukan masa depan kehidupan.
·
Di Indonesia, teater masih merupakan sebuah
permasalahan estetika, daripada permasalahan sosial, ideologi, ekonomi maupun
kebudayaan secara umum. Sehingga, ketika melakukan kajian terhadap teater
–dapat kita temukan di berbagai forum diskusi maupun tulisan-tulisan di media
massa, yang mengemuka adalah persoalan ‘gangguan’ estetika ketimbang ‘gangguan’
sosial maupun kebudayaan. Ketika kita hendak berbicara tentang ‘gangguan’
sosial, maka titik tolaknya adalah estetika. Contoh dalam dunia pertunjukan
musik dangdut misalnya dapat kita lihat pada sikap ‘Raja Dangdut’ Rhoma Irama
yang mencoba membatasi gerak penyanyi ‘Ratu Ngebor’ Inul Daratista dengan
menempatkan estetika gerakan Inul yang dianggap menimbulkan birahi –dan dengan
demikian diasumsikan merusak moral masyarakat. Contoh lain adalah ketika sebuah
pertunjukan teater baru saja berakhir, maka kita mendengar dari para pengunjung
teater itu, bahwa persoalan-persoalan estetika membuat mereka menjadi tidak
nyaman, mulai dari penataan lampu yang gelap hingga aktornya yang tidak
memahami seni peran maupun teks.
·
Titik tolak dari estetika itu dengan sendirinya telah
membuat jarak atau jurang pemisah antara kemandirian penonton di satu sisi, dan
pertunjukan teater yang tumbuh ketika berlangsungnya peristiwa disisi lain.
·
Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Teater adalah peristiwa
yang dipertunjukkan bersama-sama dengan kehadiran penonton’3.
Kebersamaan dengan penonton itu mengindikasikan bahwa antara teater dan
penonton memiliki ‘tugas’ yang sama dalam ‘menyelesaikan’ adegan demi adegan.
Dengan demikian, antara teater dan penonton tidak saling menuntut, tetapi
saling mencurahkan dirinya untuk suatu peristiwa. Kritikus drama Walter Kerr
menjelaskan:
Tidak
sekedar menunjukkan bahwa kita menghadirkan pribadi dari pemeran. Tetapi
berarti bahwa mereka berada dalam kehadiran kita,
kesadaran kita, pembicaraan kita, bekerja untuk dan dengan kita hingga sebuah
perjalanan keliling yang tidak mekanis menjadi tak bisa dipungkiri diantara
kita, sebuah perjalanan keliling yang naik turun, tak dapat diduga,
sesungguhnya berubah dalam rangsangannya, bergemericik, akrab. Kehadiran kita,
pandangan yang kita tanggapi, kembali mengalir menuju pemain dan mengubah apa
yang dia lakukan, pada beberapa tingkat dan kadang-kadang mengherankan, juga,
setiap malam kita menyaksikannya. Kita adalah pesaing, membuat drama dan
misteri serta emosi bersama-sama. Kita adalah kawan bermain, membangun
struktur’.4
·
Semua hubungan antara penonton dan teater
tersebut merupakan realitas yang dibangun melalui metafora-metafora, disamping
simbol dan mimpi. Ketika seorang pemeran memainkan suatu adegan, maka dengan
sendirinya, dirinya teridenfikasi sebagai peran yang dimainkannya, tanpa
terlebih dahulu mengatakan bahwa “saya akan memerankan seorang tokoh A”. Bila
dalam teater rakyat di Indonesia, kita menjumpai penyebutan peran seperti “saya
memerankan tokoh tumenggung A”, hal ini merupakan suatu bentuk pengungkapan
yang dibuat sebagai prolog atau pembuka cerita, agar penonton lebih dahulu
mengenal peran yang akan dimainkannya. Namun demikian, pola semacam ini sudah
tidak berlaku lagi, kecuali dengan mengatakan “saya adalah tumenggung A”.
·
Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Segala sesuatu yang
kita lihat di teater --keseluruhan pertunjukan, termasuk perilaku dan
dekorasi-- dapat dipandang sebagai metafora raksasa. Ketika metafora berhasil,
kita melihat seperti sebelum kita menciptakan sepenuhnya cermin kehidupan. Hal
ini menempatkan kita disisi bawah sadar kita, dan membiarkan kita tertawa pada
diri sendiri atau belajar untuk melihat ketakutan kita yang terdalam… Yang
demikian itulah kekuatan imajinasi.5 Metafora
berfungsi strategis dalam membangun sumber-sumber pengalaman pribadi (atau yang
mempribadi). Suatu pengalaman yang berasal dari segala sesuatu yang dialami
secara individual dalam kehidupan sehari-hari.
Kekuatan
Kelompok dan Imajinasi
·
Pengalaman kelompok menjadi kekuatan penting dalam
teater. Dalam sebuah ruang pertunjukan –yang terdiri dari berbagai jenis dan
sikap serta pendangan, mengalami suatu kejadian di suatu tempat yang sama.
Sesuatu yang penuh misteri terjadi pada diri mereka. Demikian pula halnya
secara individu maupun pribadi dengan latar belakangnya yang berbeda. Mereka
mengalami suatu peristiwa dengan tanggapan yang beraneka ragam secara bebas.
Para pakar psikologi sosial cukup banyak melakukan analisa mengenai kelompok
ini, diantaranya Gustav Le Bon, pelopor psikologi sosial dan seorang yang
pertamakali mempelajari gejala banyak penonton, menulis bahwa kumpulan orang
“menghadirkan watak baru yang sangat berbeda dengan pembawaan individunya.
Perasaan dan gagasan semua orang dalam satu tempat pertemuan dan mempunyai
tujuan yang sama, dan lenyapnya kesadaran pribadi mereka“6.
Lenyapnya kesadaran pribadi, mengantarkan penonton teater dalam pengalaman
kelompok.
·
Pengalaman kelompok berarti terjadinya hubungan satu
dengan yang lainnya dalam kelompok ketika seorang penonton teater berada
bersama-sama dengan individu lainnya. Seorang penonton teater yang tertawa
terbahak-bahak sendirian tentu akan menjadi sesuatu yang aneh. Begitu pula bila
seorang penonton bertepuk sendirian, sedangkan penonton lainnya asyik
menyaksikan pertunjukan. Keterpencilan penonton secara individu, akan mengubah
tanggapannya terhadap pertunjukan itu sendiri. Seperti ditegaskan oleh Lawrence
S. Wrightsman dalam bukunya Psikologi
Sosial (Social Psychology),
menunjukkan sejumlah studi awal yang menegaskan pandangan yang mana kumpulan
orang atau kelompok dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan individu.
Selanjutnya Lawrence menulis “Kelompok dapat digoyang oleh proses pemikiran
kelompok”7. Hal ini berarti bahwa siapapun yang
berada dalam suatu kelompok akan membawa sebagian atau seluruh atmosfir yang
dimiliki oleh anggota kelompok tanpa terkecuali. Pengalaman kelompok bukan berarti
terjadinya ‘penggadaian’ terhadap sesuatu yang mempribadi. Bila Le Bon
mengatakan lenyapnya kesadaran pribadi, itu berarti bahwa kesadaran yang
bersifat pribadi dalam kelompok, seperti bersiul, bertepuk atau tertawa.
Sedangkan kesadaran terhadap ‘dunia pengalaman’ yang hidup sejak seseorang
dilahirkan, tetap merupakan bagian yang integral dalam dia menyikapi segala
bentuk penampakan yang terjadi diatas panggung.
·
Disamping itu, dalam pengalaman kelompok terdapat
berbagai kecenderungan penonton teater yang membawanya pada pemikiran yang
bersifat bersama-sama karena bangunan entitas budayanya maupun ikatan-ikatan
primordial yang dibentuk oleh hubungan kedekatannya dengan penonton lainnya.
Menurut Wilson penonton teater memiliki andil dengan semua kelompok yang
bercirikan pemikiran kolektif khusus8.
Diantara mereka ada yang agresif dan ada pula yang ‘duduk manis’ mengikuti apa
yang menjadi perhatian mereka. Dengan jumlahnya yang besar, kelompok dapat
mempengaruhi banyak hal dalam teater. Bentuk-bentuk pengaruh kelompok ini,
sekali lagi pada sifat kolektivitas interaksi kelompok, bukan pada reproduksi
ingatan pengalaman kehidupan sehari-hari yang bersifat pribadi. Seorang pakar
behavioris B.F. Skinner menyebutnya penguatan
(reinforcement):
Jika
penguatan selalu dimiliki individu, namun demikian kelompoklah yang memiliki
efek kekuatan yang lebih besar. Dengan bergabung dalam kelompok, individu lebih
meningkatkan kekuatan untuk memperoleh penguatan ... Peningkatan sebagai akibat
yang dihasilkan oleh kemudahan kelompok melampaui jumlah akibat yang dapat
dicapai oleh anggota yang berperan secara terpisah9.
·
Pencapaian bangunan penguatan itu adalah lewat
imajinasi. Seorang kreator tentulah orang yang kita asumsikan memiliki daya
imajinasi yang lebih dari para penontonnya. Imajinasi ini membangun rangkaian
demi rangkaian menuju satu pola yang dapat menjadi penanda bagi tujuan-tujuan
kreatif. Sudah menjadi tugas dari para krreator, seperti sutradara dan aktor
untuk meminimalkan keterbatasan imajinasi penonton teater. Wilson menegaskan
teater berjalan dalam dua-cara --mengubah antara aktor dan penonton --dan
dimana-mana banyak ditemukan dalam penciptaan ilusi. Ilusi mungkin diprakarsai oleh pencipta teater, tetapi ilusi
ini dilengkapi oleh penonton.10
·
Dalam sebuah pertunjukan, misalnya kita menyaksikan
penonton memerankan sebuah peran binatang, kita tahu bahwa apa yang dilakukan
seorang aktor itu bukan nyata; orang bukan harimau misalnya, dan harimau tidak
menyanyi dan menari diatas panggung. Kita akan memaklumi bahwa setiap
bentuk-bentuk yang tidak nyata itu, sebagai bentuk yang merupakan imajinasi
dari sebuah rangsangan penandaan yang harus dibentuk kembali dalam realitas
pengalaman yang nyata. Hal ini berarti bahwa terjadi penafsiran-penafsiran yang
membangun objek penceritaan menjadi pandangan subjektif oleh masing-masing
penonton teater.
Ringkasan
Berbagai
pendapat yang mengemuka tentang penonton teater, sesungguhnya merupakan
gambaran dari upaya menempatkan penonton yang tidak terpisah dari pertunjukan
teater. Pendapat yang menempatkan keterpisahan antara penonton teater, harus
ditempatkan sebagai suatu kenyataan, bahwa antara penonton dan teater memiliki
perbedaan dalam proses keterlibatannya. Disatu sisi terdapat proses kreatif
oleh aktor dan disisi lain terdapat proses alami penonton menyaksikan
pertunjukan teater.
Seni bukan kehidupan tetapi
refleksi kehidupan --penciptaan khusus yang abstrak dan cermin kehidupan.
Bernard Beckerman membuat pengamatan sebagai berikut:
Para pemain
dan penonton harus dipisahkan satu dengan lainnya agar penonton dapat mengamati
apa yang sedang terjadi. Tetapi pemisahan ini tidak hanya fisik saja: pemisahan
keduanya baik fisik maupun psikologis. Hutan kecil yang sakral mungkin menjadi
pilihan, tarian melingkar mungkin terbatas, panggung mungkin dibangun.
Bagaimanapun juga, sebuah wilayah dibagi, yang kemudian menjadi tempat pemain.
Hal ini dapat dimanipulasi, antara ruang yang sebenarnya dan imajinasi; ini
merupakan tempat dimana pementasan dapat disuguhkan. Akhir-akhir ini, dalam
drama, kita memiliki contoh produksi seperti The Connection dan The Blacks,
karya Jerzy Grotowski, dan dalam novel yang mirip kejadian sesungguhnya, dimana
pembongkaran batas terlihat. Seringkali, peran ini kebalikannya, dan penonton,
malahan menjadi tuhan, juga menjadi kambing hitam. Upaya untuk menghapus batas
antara pengarang dan yang dikarang hanya mendefenisikannya dengan lebih tegas.
Pendengar dengan cermat menjadi benar-benar sadar, bahwa dia menjadi pemain
dalam peran tertentu dari penonton. Pemisahan ini tidak dihapuskan, semata-mata
diposisikan kembali pada tempat yang seharusnya.11
Topik
Diskusi
1.
Buatlah identifikasi terhadap kecenderungan penonton
teater modern
2.
Aspek apakah yang menjadi pilihan utama penonton
teater
Bersambung ke Pertemuan 14
DAFTAR PUSTAKA
Beckerman, Bernard
1970 Dynamics of Drama: Theory and Method of
Analysis, New York: Knopf
Bennet, Susan
1997 Theatre Audience, a theory of production and reception,
second edition, London and New York: Routledge
Roose-Evans,
James
1989 Experimental
Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition, London:
Routledge,
Wilson,
Edwin
1988 The
Theater Experience, fourth edition, New York: McGraw-Hill Book Company
1 Susan
Bennet, Theatre Audience, a theory of production and reception, second
edition, London and New York: Routledge, 1997, hal. 69-70
2
Jerzy Grotowski menjadi tokoh yang unik dalam
teater, karena berbagai eksperimentasinya yang menggali berbagai kemungkinan
penjelajahan teater. Teater laboratorium yang didirikannya 1965 di Polandia
menjadi salah satu tempat penelitian maupun penjelajahan teater yang terkemuka
di seluruh dunia. Saya bahkan pernah menyaksikan metode latihannya digunakan
oleh lima wanita yang berasal dari Belanda di padepokan “Lemah Putih” Surakarta
(1994). Lebih jauh, lihat James Roose-Evans, Experimental Theatre, from
Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition, London: Routledge, 1989.
3 Edwin
Wilson, 1988, The Theater Experience, fourth edition, New York:
McGraw-Hill Book Company, hal. 12
6 Gustave Le Bon, The Crowd: A Study of the Populer Mind,
20th ed., Benn, London, 1952, hal. 23, dalam Edwin Wilson, idem, hal.
16.
7 Lawrence
S. Wrightsman, Social Psychology, 2d
ed., Brooks/Cole, Monterey, Calif., 1977, hal. 579, dalam Edwin Wilson, idem,
hal. 16
8 Edwin Wilson, op. cit, hal. 16
9 B.F. Skinner, Science and Human Behaviour, Macmillan,
New York, 1953, hal. 312, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16
10 Edwin Wilson, idem,
hal. 16
11 Bernard Beckerman, Dynamics of Drama: Theory and Method of
Analysis, Knopf, New York, 1970, hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar