TEATER MODERN
Pertemuan ke 3
Postmodern dalam Teater
Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi
·
Postmodernisme yang belakangan ini menjadi tema
menonjol dalam wacana intelektual kita nampaknya masih ditanggapi secara
sembrono. Di satu sisi, ia begitu mudahnya dirayakan, terutama oleh kalangan
muda, sebagai bentuk kepekaan baru dan peralihan paradigma yang hampir total
dalam menanggapi modernitas. Kata-kata kunci seperti dekonstruksi, différance,
diskontinuitas sejarah, discourse, dan decentering menjadi semacam perangkat
pemeriksaan terhadap apa saja. Artinya, segalanya mau dikait-kaitkan dengan,
dan dilihat dari kaca mata postmodernisme. Sedangkan segala sesuatu yang masih
berbau modern dianggap aus. Produk-produk kultural modernitas seperti paham otonomi
subjek, prinsip rasionalitas, ilmu dan teknologi, juga demokrasi dan hak asasi
di babat habis-habisan. Pokoknya serba ikonoklastik.
·
Sementara itu di sisi lain, sebagian kalangan justru
terlalu cepat mencurigai dan melecehkan postmodernisme. Isme ini diidentikkan
begitu saja dengan relativisme radikal yang mengarah pada anarkisme tak
ketulungan ("Apa saja boleh!"); melantunkan sikap tanpa pemihakan;
hanya membongkar tanpa mengajukan alternatif apa maunya; dan dalam konteks kita
dianggap nggege mongso ("Modern saja belum terpenuhi kok sudah masuk
postmodern!") Bahkan Frans Magnis-Suseno dalam wawancaranya di sebuah
harian ibu kota akhir tahun lalu, dengan nada sinis menyebut pembicaraan
postmodernisme saat ini sebagai tanda kedangkalan intelektual kita. Secara
berolok-olok Magnis menyebut Dewi Soekarno sebagai contoh figur postmodernis
karena menjungkirbalikkan nilai-nilai estetika dengan erotisme.( Kompas, 12
Desember 1993)
· Ke dua
pandangan di atas pada dasarnya adalah bentuk pengekstriman yang terlalu
menyederhanakan, kalau bukan melebih-lebihkan, terhadap postmodernisme. Dan
kalau diamati secara jeli, kita akan melihat bahwa meski berada dalam posisi
yang saling berlawanan, keduanya sesungguhnya menyimpan asumsi yang kurang
lebih sama, bahwa postmodernisme tidak lain adalah penolakan serta-merta
terhadap modernitas, terhadap Pencerahan (Aufklärung) yang membawa janji
emansipasi, dengan mengubur sama sekali kemungkinan adanya emansipasi itu
sendiri. Artinya, konsep praksis yang mengandaikan emansipasi tidak lagi
mendapat tempat. Bagi pendukung asumsi ini, postmodernisme dengan demikian
adalah suatu kepekaan bahwa kehidupan kita tidak lebih dari permainan yang
sepenuhnya ditentukan oleh bahasa, yang niscaya bersifat historis dan lokal.
Kalapun ada yang disebut dengan "ide kebenaran", itu tidak lain
adalah efek bahasa, hasil pembacaan tertentu terhadap "teks"
kehidupan. Sebaliknya, di mata penghujat postmodernisme, asumsi tersebut tak
pelak akan membawa pada nihilisme dan irasionalisme. Tidak heran kalau Jürgen
Habermas, sang pemeluk teguh modernisme, menyebut Michel Foucault dan Jacques
Derrida sebagai nihilis, obskurantis dan irasionalis (Butir-butir kritik
Habermas terhadap kalangan postmodernis bisa dilihat dalam bukunya The Philosophical
Discourse of Modernity, terjemahan F. Lawrence (Cambridge, Mass:
MIT Press, 1987).
Asumsi bahwa postmodernisme identik dengan anti-emansipasi Pencerahan inilah yang harus diperiksa keabsahannya jika kita menginginkan pembicaraan postmodernisme tidak lagi menjurus pada kesembronoan seperti yang dialami dua pandangan ekstrim di atas. Sebab diakui atau tidak, gugatan postmodernisme terhadap modernitas membawa unsur-unsur yang jelas berbeda dengan gugatan yang pernah muncul sebelumnya, misalnya oleh Teori Kritis Frankfurt (Teori Kritis Masyarakat (eine Kritische Theorie der Gesselschaft) atau "Teori Kritis" adalah mazhab pemikiran neo-Marxis yang pertama berkembang di Institut für Sozialforschung, salah satu jurusan resmi dalam Universitas Frankfurt yang didirikan di Frankfurt am Main pada tahun 1923. Para intelektual yang bergabung dalam institut ini cukup banyak, misalnya Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama institut), Max Horkheimer (filosof, sosiolog, psikolog dan direktur sejak 1930), Theodor Wiesendrund-Adorno (filosof, sosiolog, musikolog), Walter Benyamin (kritikus sastra), Erich Fromm (psikolog sosial) dan Herbert Marcuse. Tapi sejauh yang disebut mazhab "Teori Kritis", yang lebih sering dimaksudkan adalah Horkheimer, Marcuse, dan Adorno untuk generasi pertama, dan Jürgen Habermas untuk generasi kedua. Pada dasarnya, generasi Teori Kritis pertama banyak diilhami oleh gagasan-gagasan seorang neo-Marxis, Georg Lukács (1885-1971), terutama konsep reifikasinya. Satu hal penting yang membedakan Teori Kritis dengan Marxis dan neo-Marxis lain adalah sikap independen mereka dari kubu Marxis, baik Sosial demokrat maupun Komunisme, karena secara praktis maupun teoritis mereka tidak memperlakukan Marxisme sebagai norma. Konteks sosio-historis yang melatari Teori Kritis adalah suasana dunia modern waktu itu yang diwarnai totaliterianisme Stalin, fasisme dan otoriterisme Nazi Hitler dan perang dunia yang mereka sebut sebagai "barbarisme baru". Karena itulah Teori Kritis sangat khawatir terhadap patologi rasionalitas modern. Lihat Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), 35-46. Sumber pustaka lain untuk ini di antaranya Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: Gramedia, 1983). Untuk sumber bahasa Inggris, lihat di antaranya Tom Bottomore, The Frankfurt School (London: Tavistocks Publications, 1984); Leszeck Kolakowski, Main Currents of Marxism: Its Origin, Growth and Dissolution, Vol III (Oxford: Clarendon, 1978); dan Z. Tar, The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W. Adorno (New York: A Wiley-Interscience Publication, 1977). Teori kritis juga melancarkan kritik yang tajam terhadap modernitas, terutama proses rasionalisasi yang berlangsung di dalamnya, namun dengan pengandaian-pengandaian yang masih berpijak pada modernisme Pencerahan. Ini bisa dilihat, antara lain, dari konsepnya tentang kritik dan praksis-emansipatoris. Sementara postmodernisme justru menggugat pengandaian itu. Bahkan pengertian kritisisme yang diajukan Teori Kritis pun dipertanyakan.
Asumsi bahwa postmodernisme identik dengan anti-emansipasi Pencerahan inilah yang harus diperiksa keabsahannya jika kita menginginkan pembicaraan postmodernisme tidak lagi menjurus pada kesembronoan seperti yang dialami dua pandangan ekstrim di atas. Sebab diakui atau tidak, gugatan postmodernisme terhadap modernitas membawa unsur-unsur yang jelas berbeda dengan gugatan yang pernah muncul sebelumnya, misalnya oleh Teori Kritis Frankfurt (Teori Kritis Masyarakat (eine Kritische Theorie der Gesselschaft) atau "Teori Kritis" adalah mazhab pemikiran neo-Marxis yang pertama berkembang di Institut für Sozialforschung, salah satu jurusan resmi dalam Universitas Frankfurt yang didirikan di Frankfurt am Main pada tahun 1923. Para intelektual yang bergabung dalam institut ini cukup banyak, misalnya Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama institut), Max Horkheimer (filosof, sosiolog, psikolog dan direktur sejak 1930), Theodor Wiesendrund-Adorno (filosof, sosiolog, musikolog), Walter Benyamin (kritikus sastra), Erich Fromm (psikolog sosial) dan Herbert Marcuse. Tapi sejauh yang disebut mazhab "Teori Kritis", yang lebih sering dimaksudkan adalah Horkheimer, Marcuse, dan Adorno untuk generasi pertama, dan Jürgen Habermas untuk generasi kedua. Pada dasarnya, generasi Teori Kritis pertama banyak diilhami oleh gagasan-gagasan seorang neo-Marxis, Georg Lukács (1885-1971), terutama konsep reifikasinya. Satu hal penting yang membedakan Teori Kritis dengan Marxis dan neo-Marxis lain adalah sikap independen mereka dari kubu Marxis, baik Sosial demokrat maupun Komunisme, karena secara praktis maupun teoritis mereka tidak memperlakukan Marxisme sebagai norma. Konteks sosio-historis yang melatari Teori Kritis adalah suasana dunia modern waktu itu yang diwarnai totaliterianisme Stalin, fasisme dan otoriterisme Nazi Hitler dan perang dunia yang mereka sebut sebagai "barbarisme baru". Karena itulah Teori Kritis sangat khawatir terhadap patologi rasionalitas modern. Lihat Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), 35-46. Sumber pustaka lain untuk ini di antaranya Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: Gramedia, 1983). Untuk sumber bahasa Inggris, lihat di antaranya Tom Bottomore, The Frankfurt School (London: Tavistocks Publications, 1984); Leszeck Kolakowski, Main Currents of Marxism: Its Origin, Growth and Dissolution, Vol III (Oxford: Clarendon, 1978); dan Z. Tar, The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W. Adorno (New York: A Wiley-Interscience Publication, 1977). Teori kritis juga melancarkan kritik yang tajam terhadap modernitas, terutama proses rasionalisasi yang berlangsung di dalamnya, namun dengan pengandaian-pengandaian yang masih berpijak pada modernisme Pencerahan. Ini bisa dilihat, antara lain, dari konsepnya tentang kritik dan praksis-emansipatoris. Sementara postmodernisme justru menggugat pengandaian itu. Bahkan pengertian kritisisme yang diajukan Teori Kritis pun dipertanyakan.
· Persoalannya
adalah apakah dengan demikian postmodernisme lantas tidak emansipatoris? Apakah
postmodernisme adalah bentuk lain dari nihilisme dan relativisme, yang sedari
dulu tampil sebagai kekuatan konservatif vis a vis rasionalitas modern,
sebagaimana yang sering dinisbatkan pada Nietszche dan Heidegger? Apakah makna
Pencerahan hanya diwakili oleh versi Teori Kritis? Untuk menjawab rangkaian
pertanyaan ini, ada baiknya kita, mengikuti Michel Foucault, melakukan kilas
balik untuk mencari konteks apa yang melahirkan gagasan tentang Pencerahan dan
emansipasi.
Kritik
dan Heroisme
· Beberapa
tahun sebelum meninggal, Foucault menulis esai--mungkin untuk menanggapi
komentar Habermas tentang dirinya--yang berjudul: "Apa itu Pencerahan?"
(Esai ini termuat dalam Paul Rabinow (ed.), Foucault Reader (New York:
Pantheon, 1984), 32-50). Dengan ini, Foucault sebenarnya bermaksud
mendengungkan kembali pertanyaan: Was ist Aufklärung? yang pernah
terlontar dua abad lalu di Jerman, tepatnya pada bulan November 1784, dalam
jurnal, Berlinische Monastschrift. Di antara penanggapnya waktu itu
adalah Immanuel Kant. Pertanyaan ini sangat penting untuk dimunculkan lagi
karena ia menandakan peletakan batu pertama filsafat modern, yakni filsafat
yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
· Jawaban
yang kuat gaungnya waktu itu, kita tahu, berasal dari Immanuel Kant (1724-1804)
ketika ia menegaskan bahwa Pencerahan adalah "jalan keluar" yang
membebaskan manusia dari situasi ketidakdewasaan, yakni situasi manusia yang
masih menggantungkan dirinya pada otoritas diluar dirinya, yang dengannya ia
sendiri merasa bersalah, entah otoritas itu atas nama tradisi, dogma agama,
ataupun negara. Pencerahan, dengan demikian, harus dipahami sebagai sebuah
proses, sekaligus tugas untuk mencapai Mundigkeit, kedewasaan, dengan
berani menggunakan rasio sendiri. Sapere Aude! (Beranilah berpikir
sendiri!) menjadi semboyan kuatnya. Dari sinilah Kant lalu memunculkan konsep
"kritisisme", yang dalam pandangannya berarti usaha untuk menentukan
batas-batas kemampuan dan syarat kemungkinan rasio, yang dengannya kita bisa
menentukan apa yang mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi
harapan.
· Pada
umumnya, kritisisme Kant selalu dipahami sebagai sebuah solusi dan prinsip
universal, sebagaimana bisa dilihat dalam pemikiran para filosof Pencerahan
setelah Kant, seperti Hegel, Marx, Teori Kritis generasi pertama, Habermas, dan
bahkan juga Magnis-Suseno. Seakan-akan rasio itu begitu unggul, mengatasi semua
pengalaman yang bersifat partikular dan khusus, dan menghasilkan
kebenaran-kebenaran mutlak yang universal, tak terikat waktu. Dan dengan
ditemukannya rasio tersebut, maka Mundigkeit pun tercapai. Karena
kritisisme dipahami dalam rangka standar universal, maka ia selalu berarti
suatu penilaian, pengujian dan pemeriksaan klaim-klaim kesahihan dari satu
posisi di luar arena, sudut pandang Archimedean, yang dengannya
kebenaran bisa ditentukan desain dan arahnya. Dengan prinsip rasional, kehidupan
publik pun lantas bisa diatur.
· Demikianlah
kita melihat hal itu pada G.W.F. Hegel (1770-1831). Pandangan Hegel bahwa
sejarah adalah gerak rasionalitas yang menaik secara dialektis untuk mencapai
totalitas dan kesempurnaan rasio itu sendiri menyiratkan secara kuat semangat
universal kritisismenya. Universal karena kritisisme dalam arti Hegelian tidak
lain adalah dialektika itu sendiri, sehingga segala perbedaan, otherness,
oposisi, kontradiksi semuanya akan lebur dalam rekonsiliasi menuju totalitas
tadi (Aufhebung). Meminjam ungkapan Adorno, bangunan sejarah Hegel yang
totalistik mengarah pada suatu filsafat "identitas", di mana segala
carut-marut perbedaan harus disubordinasikan ke dalamnya.
· Kita juga
melihat klaim universal dalam kritisisme Karl Marx (1818-1883). Menurut Marx,
kritisisme tidak hanya gerak dialektika yang mengawang-awang dalam ide
sebagaimana kata Hegel, melainkan juga terutama suatu praksis emansipatoris,
yakni usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang
dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Dengan demikian,
segala bentuk pengetahuan dan kesadaran yang masih berada dalam
hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, jadi masih belum teremansipasi,
pasti terdistorsi dan bias, karena itu bersifat ideologis dan palsu. Maka,
kritisisme haruslah berusaha menghapus hubungan-hubungan kekuasaan dalam
masyarakat yang tercermin dalam hubungan pemilikan alat-alat produksi agar
pengetahuan dan kebenaran rasional tercapai. Dari sini kita bisa melihat bahwa pengetahuan
sejati dan benar menurut Marx hanya ada dalam masyarakat komunis. Kebenaran,
dengan begitu, sudah tersedia dan terletak di depan sana, bersifat objektif dan
berlaku universal.
· Dengan nada
yang lebih aktual, kritisisme Hegel dan Marx--sekaligus bias
universalnya--dilantunkan kembali oleh Teori Kritis aliran Frankfurt. Kata
kunci yang paling digemari mereka adalah praksis emansipatoris. Sebagaimana
para filosof Pencerahan sebelumnya, kritisisme Teori Kritis terletak pada
obsesi mereka untuk menjadi Aufklarung, yang berarti mau menyingkap dan
menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari
kesadaran kita. Dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala hal, termasuk
bangunan pemikiran Teori Kritis sendiri, Teori Kritis ingin mengajukan kembali
maksud dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan
pengisapan.
· Karena
terobsesi dengan cita-cita humanisme Marx muda tersebut, Teori Kritis generasi
pertama, di antara yang terkenal adalah Horkheimer, Adorno dan Marcuse, memang
sempat kecewa berat terhadap rasionalitas modern pada masa itu, yang dianggap
kehilangan sifat kritisnya. Artinya, rasionalitas modern sudah melenceng dari
khittah Pencerahan. Seperti ditunjukkan oleh Horkheimer dan Adorno dalam Dialektika
Pencerahan dan Marcuse dalam Manusia Satu Dimensi, proses
rasionalisasi masyarakat ternyata bermuara ke dalam tragedi agung. Karena
mendewakan rasionalitasnya yang semula dikira memberi otonomi dan kebebasan,
manusia modern justru terperangkap dalam sistem tertutup yang justru irasional
dan hampa makna. Dalam kondisi demikian, tidak ada ruang sedikit pun bagi
kritik kecuali bahwa kritik itu sendiri pasti ikut memperkuat sistem. Dalam
masyarakat modern seperti ini, segala kontradiksi, penindasan, frustasi dan
alienasi tidak lagi nampak. Seakan-akan semua aspek kehidupan berjalan lancar,
efisien, produktif dan berdaya guna. Padahal yang sebenarnya berlangsung adalah
proses dehumanisasi. Ketika kritik hendak bekerja menyingkap kesan semu ini, ia
segera mendapati kenyataan bahwa sistem yang irasional itu justru malah
merupakan akibat usaha manusia untuk bersikap rasional. Rasionalitas yang
semula sangat kritis terhadap mitos-mitos tradisional pada gilirannya justru
berubah menjadi mitos baru dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena
itu, Teori Kritis generasi pertama mengambil sikap pesimis terhadap
rasionalitas, cenderung menarik diri (resignasi) agar tidak dicaplok oleh
sistem, dan bahkan pada akhirnya terkesan anti-praksis (Lihat kata pengantar
Franz Magnis-Suseno dalam Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional
(Jakarta: PT Gramedia, 1983), cetakan kedua, xix-xx).
· Meski
kesudahannya pesimis terhadap modernitas, Teori Kritis generasi pertama
sebenarnya secara implisit tetap memahami kritisisme dalam rangka standar
universal. Ini terbukti dengan pembedaan yang masih mereka pertahankan antara
pengetahuan yang ideologis (pengetahuan yang melegitimasi sistem yang ada) dan
pengetahuan sejati. Hanya saja mereka melihat bahwa pengetahuan modern pada
masa itu justru ideologis karena terdistorsi oleh relasi kuasa masa modern yang
bersifat opresif. Sedangkan pengetahuan rasional yang sejati, yakni yang bebas
dari aneka relasi kuasa yang opresif, tetap ada meski kecil kemungkinannya
terealisir saat ini.
· Dalam
perkembangan selanjutnya, pesimisme generasi Frankfurt awal direvisi oleh
pewarisnya, yakni Jurgen Habermas. Intelektual yang belakangan justru secara
lantang membela klaim universalitas standar rasional ini beranggapan bahwa
"guru-guru"-nya di Frankfurt "salah baca" terhadap
karakteristik Pencerahan modern. Habermas secara gigih ingin menyelamatkan
elemen-elemen kritis emansipatoris dari Teori Kritis, dengan asumsi bahwa
pencerahan Barat tidak hanya menjurus pada patologi, melainkan juga peningkatan
diri dan pendewasaan kehidupan sosial.
· Kesalahan
generasi Frankfurt awal, menurut Habermas, adalah bahwa rasionalitas modern
dipahami hanya sebagai "rasio-subjek", yakni yang melulu menyangkut
kemampuan akal budi kita mengontrol proses-proses objektif alam semesta melalui
"kerja." Inilah tipe rasionalitas yang oleh Weber disebut
"rasionalitas-tujuan" (zweckrationalitat). Kalaupun
rasionalitas modern nampak timpang dan opresif, hal itu karena
rasionalitas-tujuan terlalu mendominasi dan menjarah segala aspek kehidupan.
· Tapi bukan
berarti ia menjadi alasan yang sah untuk bersikap pesimis dan menganggap
kritisisme macet. Sebab, modernisasi masih mempunyai tipe rasionalitas lain,
yang selama ini diabaikan oleh Marx dan generasi Frankfurt awal, yakni
"rasio-intersubjektif" atau "rasio-komunikasi", yakni
kemampuan akal budi untuk memahami maksud-maksud orang atau kelompok lain
secara timbal balik. Proses rasionalisasi tidak perlu berujung pada dominasi
dan opresi manakala ia dipahami sebagai pencapaian wacana argumentatif, di mana
argumen yang lebih menawarkan klaim kesahihan yang lebih unggul, dapat diterima
secara konsensus. Ketika komunikasi suatu ketika mengalami distorsi dan
diselingi paksaan, ketika konsensus hanya merupakan pseudo-komunikasi, maka di
situlah kritisisme rasional mulai berfungsi, yakni untuk menyingkirkan
distorsi-distorsi tersebut. Dan itulah alasannya kenapa bagi Habermas
modernisasi adalah "proyek sejarah yang belum selesai."
·
Berdasarkan hasil pelacakan di atas, kita pun mafhum
bahwa kritisisme, yang menjadi ciri khas modernisme, di mata para pewarisnya
berarti suatu "heroisme" dalam menanggapi situasi zamannya. Karena
rasio sebagai prinsip kebenaran universal sudah ditemukan, maka alur sejarah
pun bisa dipatok batas-batasnya dan telos (tujuan) sejarah bisa diprediksikan.
Setidaknya itulah yang kita lihat pada Hegel ketika ia menganggap demokrasi
liberal yang berkembang di Barat sebagai manifestasi kesempurnaan pembentukan
diri rasio. Atau Marx ketika menggagas sosialisme ilmiahnya. Secara normatif,
rasionalitas tersebut juga menjadi dasar pengorganisasian masyarakat modern.
Setidaknya itulah kata Habermas ketika ia mengartikan "proyek
modernitas" yang dirumuskan oleh para filosof Pencerahan sejak abad ke-18
sebagai:
·
"rangkaian usaha untuk mengembangkan ilmu
objektif, moralitas dan hukum universal serta seni otonom menurut logika-dalam
masing-masing. Pada saat yang sama, proyek ini dimaksudkan untuk membebaskan
potensi-potens kognitif setiap domain tersebut dari bentuk-bentuk esoterisnya.
Para filosof Pencerahan bermaksud mendayagunakan akumulasi dari satuan-satuan
budaya itu untuk memperkaya (makna) kehidupan sehari-hari--yakni demi
terciptanya suatu penataan kehidupan sosial secara rasional." (Pernyataan
Habermas ini dikutip dari Steven Best dan Douglas Kellner, Postmodern Theory
(Hampshire, London: Macmillan Education Ltd, 1991), 233)
Selain itu, kritisisme juga membawa pada "keseriusan" dalam menanggapi kehidupan. Seandainya kita bayangkan, para filosof Pencerahan adalah tipe filosof yang secara serius bergulat dengan pemikiran-pemikiran "keras", lewat konsep-konsep, argumentasi filsafat dan teori-teori, untuk mencari kebenaran dan jawaban-jawaban yang definitif tentang inti segala sesuatu, termasuk dasar pengaturan kehidupan publik. Mereka begitu yakin bahwa kebenaran yang mereka kejar bisa secara persis berkoresponden dengan realitas di luar sana; bahwa konsep dan penggambaran filosofis mereka mampu menjadi cermin realitas. Dengan kata lain, mereka tidak menaruh kecurigaan sama sekali terhadap bahasa yang mereka pakai. Tidak heran kalau kemudian konsep dan teori yang mereka rumuskan diyakini mampu menjadi landasan bagi tindakan pencerahan dan praksis emansipasi.
Masyarakat
Disiplin Selain itu, kritisisme juga membawa pada "keseriusan" dalam menanggapi kehidupan. Seandainya kita bayangkan, para filosof Pencerahan adalah tipe filosof yang secara serius bergulat dengan pemikiran-pemikiran "keras", lewat konsep-konsep, argumentasi filsafat dan teori-teori, untuk mencari kebenaran dan jawaban-jawaban yang definitif tentang inti segala sesuatu, termasuk dasar pengaturan kehidupan publik. Mereka begitu yakin bahwa kebenaran yang mereka kejar bisa secara persis berkoresponden dengan realitas di luar sana; bahwa konsep dan penggambaran filosofis mereka mampu menjadi cermin realitas. Dengan kata lain, mereka tidak menaruh kecurigaan sama sekali terhadap bahasa yang mereka pakai. Tidak heran kalau kemudian konsep dan teori yang mereka rumuskan diyakini mampu menjadi landasan bagi tindakan pencerahan dan praksis emansipasi.
· Dengan
kritisismenya, Foucault pada akhirnya sampai pada upaya penyingkapan
karakteristik dunia modern yang mampu menjungkirbalikkan asumsi-asumsi filosof
Pencerahan. Dalam pandangan filosof Pencerahan, manusia dipandang sebagai
subyek yang otonom, mandiri, dan mampu menentukan diri sendiri. Mereka juga percaya
adanya pemilahan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni (rasional,
objektif, dan tidak terdistorsi oleh mitos atau hubungan kekuasaan yang
menindas) dengan pengetahuan palsu dan tidak murni (irasional, subjektif, dan
ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu).
· Pandangan
demikian ditolak keras oleh Foucault. Dalam Disiplin dan Hukuman dan Sejarah
Seksualitas, Foucault secara jenial melukiskan bagaimana individu modern,
sebagai subjek maupun objek, sebenarnya lahir dan diciptakan oleh multiplisitas
dalam jaringan kuasa. Lewat tehnik disiplin dan normalisasi, individu
diciptakan sebagai objek. Dan lewat praktek "pengakuan" dan
"penguasaan-diri" dalam wacana seksualitas, ia diciptakan sebagai
subjek yang membicarakan dirinya sendiri. Selain itu, Foucault juga menegaskan
bahwa distingsi antara pengetahuan murni (yang bebas kekuasaan) dan pengetahuan
ideologis (yang bias kekuasaan) hanyalah ilusi belaka. Sebab menurut Foucault,
pengetahuan dan kekuasaan terpilin dalam kesatuan tunggal.
· Pandangan
Foucault mengenai kuasa dan model teknologi kuasa apa yang beroperasi dalam
dunia modern sangat penting untuk dicermati karena dari sinilah kita bisa
melihat sejauh mana kritisisme Foucault berimplikasi pada praksis dan
emansipasi. Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah seperti apa yang dikatakan
kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.
Kekuasaan bukan pula seperti apa yang dikatakan kaum Marxis sebagai artefak
material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh klas tertentu untuk mendominasi
dan menindas klas lain. Kekuasaan bukan institusi, struktur, atau kekuatan
menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang komplek
dalam masyarakat (Lihat tulisan Colin Gordon sebagai penutup dalam Michel
Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings
1972-1977, diedit oleh Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 236). Dalam
relasi, tentu saja ada yang di atas ada yang di bawah, ada yang di pusat ada
yang di pinggir, ada di dalam ada yang di luar. Tapi bukan berarti kekuasaan
semata-mata terletak di atas, di pusat, atau di pinggir. Sebaliknya, kekuasaan
menyebar, terpencar dan hadir di mana-mana ibarat jaring yang menjerat kita
semua. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki dan perempuan,
yang saleh dan laknat.
· Fenomena
demikian terutama terasa menyolok sekali dalam masyarakat modern yang ditandai
rejim "disiplin." Artinya, teknologi kuasa modern tidak lagi bekerja
secara terang-terangan, seperti halnya kuasa raja untuk menghukum dalam
masyarakat feodal. Kuasa modern bekerja secara anonim dan tak kelihatan lewat
disiplinisasi. Teknik disiplin ini meliputi kontrol kegiatan melalui penetapan
jadwal dan pelaksanaannya dengan tujuan menghasilkan ritme dan keteraturan;
juga kontrol lewat penetapan aturan-aturan terhadap masyarakat, dengan ganjaran
bagi yang taat dan hukuman bagi yang membangkang; bahkan juga kontrol mental
lewat sosialisasi nilai-nilai moral dan etika kerja (Lihat pengantar
Paul Rabinow dalam Foucault Reader, 17).
· Dengan kuasa
disiplin inilah, individu-individu modern yang mengidealkan hidup bebas,
produktif dan mandiri dibentuk, dijinakkan, dikembangkan, dan ditundukkan.
Semakin mereka merasa bebas dan produktif justru semakin menunjukkan betapa
kuasa anonim tersebut berfungsi secara efisien. Dalam konteks ini, kiranya
tepat apa yang dikatakan Foucault bahwa lanskap arsitektur kuasa modern
merupakan matriks pengurungan yang mirip dengan model panopticon yang
diajukan Jeremy Bentham (1784-1804) (Panopticon merupakan
model matriks mekanisme kuasa dalam bentuk penataan ruang sedemikian rupa
sehingga semua penghuninya bisa dipantau secara sangat transparan. Desainnya
kira-kira demikian: sebuah halaman luas, dengan menara di tengahnya dan
dikelilingi oleh serangkaian bangunan yang dibagi-bagi dalam tingkat-tingkat
dan sel-sel. Dalam masing-masing sel terdapat dua jendela: satu untuk menerima
sinar dari luar dan satunya lagi menghadap jendela menara. Dengan begitu,
segala isi sel bisa terpantau dari menara. Masing-masing sel jadinya seperti
teater kecil, dengan seorang aktor yang sendirian tapi secara konstan kelihatan
terus. Dalam kondisi demikian, para penghuni merasa diawasi terus menerus
sehingga akhirnya ia membatinkan pengawasan dalam dirinya sendiri. Dia kemudian
menjadi pengawas bagi dirinya. Model panopticon ini memperlihatkan
bagaimana kuasa modern berfungsi secara anonim dan hadir di mana-mana.
Bandingkan Michel Foucault, Discipline and Punish (New York: Vintage
Books, 1979), 200. Juga Hubert Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault:
Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of
Chicago Press, 1982), 188-192). Sasaran utama dan efek yang paling nyata
dari disiplin ini adalah "normalisasi", penyingkiran segala yang
dianggap menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak teratur baik secara
psikologis maupun sosial. Jadi, masyarakat modern yang kelihatannya rapi,
kokoh, normal, dan tertib sebenarnya menyembunyikan bentuk-bentuk dominasi dan
penundukkan secara canggih.
· Namun bukan
berarti kekuasaan semata-mata negatif dan represif. Dalam pandangan Foucault,
kekuasaan justru beroperasi secara positif dan produktif. Sebab, kekuasaan
selalu menciptakan pengetahuan/kebenarannya sendiri sebagaimana pengetahuan
juga menyokong kebenaran. Gagasan Foucault mengenai pengetahuan/kebenaran ini
secara radikal membedakannya--untuk yang ke sekian kalinya--dengan para filosof
Pencerahan, tak terkecuali Teori Kritik yang masih memisahkan antara kebenaran
dan ideologi, antara pengetahuan dan kekuasaan. Kebenaran, di mata mereka, adalah
entitas yang berada di luar relasi kekuasaan, yang berada "di depan
sana", yang dengannya relasi kekuasaan bisa diperiksa dan diatur cara
kerjanya.
· Pandangan
ala Pencerahan ini jelas ditolak Foucault. Menurut Foucault, kebenaran tidak
terletak di luar, tapi di dalam kuasa. Kebenaran tidak lain adalah relasi kuasa
itu sendiri; adalah ensembel aturan-aturan yang menentukan kita, yang kita
anggap pasti dan benar bagi kesadaran kita, untuk memilah-milah,
mengklasifikasi dan memperlakukan mana yang benar mana yang salah, mana yang
sah mana yang batal, mana yang adil dan mana yang tidak, dan seterusnya; adalah
sistem prosedur-prosedur untuk memproduksi, mengatur, menyebarkan dan
mengoperasikan pernyataan-pernyataan (Foucault, Power/Knowledge,
132-133).
· Dari sinilah
Foucault akhirnya menandaskan bahwa pengetahuan apapun tidak pernah melampaui
"rejim kebenaran/kuasa"-nya sendiri. Setiap pengetahuan pasti
terbentuk dan terikat dalam kondisi-kondisi sosio-historis yang kongkret, dalam
kesementaraan, dan tidak pernah mentransformasikan diri menjadi
kebenaran-kebenaran objektif dan universal.
· Teater yang
dipengaruhi oleh pemikiran postmodern dengan sendirinya membentuk filosofi
tersendiri.
Ringkasan
Pertanggungjawaban teater
postmodern kontemporer Perancis. Josette Feral melihat kekhasan
teater postmodern selama ini dalam
penolakannya terhadap narasi dan dari 'organisasi
simbolik yang mendominasi teater'. Teater akan diperbuat atas 'pemindahan
posisi keinginan terus menerus', tidak pernah menyediakan penontonnya
sesuatu untuk dipahami, 'kecuali arus yang mengalir, jaringan dan sistem'.
(Feral, 'Performance and Theatricality', hal. 177-179). Demikian
pula Regiss Durand mengatakan bahwa orang yang
mengorganisasikan kekuatan teater 'adalah bukan daya dorong dan
hubungan cerita yang terlalu lama, tetapi lebih melapiskan ke
atas atau "lapisan", "pekerjaan yang mengikuti jalan"
(Lee Bruer), nukilan, pengulangan, gambar tiruan di atas kertas
tipis, dan menghapus,
menggandakan, "menghantui" (Herbert Blau),
me-nerjemahkan, pemindahan, dan lain-lain (Durand, 'Theatre/SIGN/ Performance,
hal. 220). Macam teater yang digunakan untuk memberikan syarat ini adalah
Ontological-hysteric Theatre dari dramawan Amerika Richard Foreman.
Pengalaman seseorang dari pertunjukannya
dijelaskan oleh Chantal Pontbriand:
Dalam produksinya tak ada mata -juga telinga-
yang dapat menemukan gabungan titik yang diistirahatkan. Penonton dalam
drama Foreman dibombardir oleh keserbaragaman peristiwa penglihatan dan
pendengaran. Pada tingkat pendengaran ada perubahan yang terus
menerus pada sejumlah perlengkapan panggung secara geometris, juga dengan
suatu pemeranan. Pemindahan potongan-potongan perabotan dan bagian-bagian dari
perlengakapan mengubah konteks, juga dengan memberikan lebih besar
kedalaman atau dengan menciptakan tanpaan tingkat variasi dalam kedalaman atau
ketinggian. Pencahayaan juga berubah secara terus menerus; Perpindahannya harus
terjadi secara perlahan atau dengan cepat dan harus mempengaruhi panggung
dan mirip rumah; penonton harus secara tiba-tiba menemukan
pemandian mereka sendiri dalam cahaya ketika lampu sorot diturunkan pada mereka
tanpa peringatan. Seperti untuk suara, segala sesuatu direkam:
terompet mobil, sirene, siulan, bitits of Jazz sama baiknya dengan dialog
itu sendiri. Naskah dipenggal, dipersingkat, aphoristic, kalimat
tak saling berhubungan (Portbriand, "The eye find no fixxed
point...",p.159)
Topik Diskusi
1.
Jelaskan pendapat anda tentang perkembangan pemikiran
postmodern dengan teater
2.
Seberapa besarkan pengaruh pemikiran kritis dalam
menggerakkan pertumbuhan pemikiran dalam teater
3.
Apakah masyarakat sekarang dapat memahami pola
pertun-jukan teater postmodern yang bersifat dekonstruktif. Bagaimana teater
kontemporer postmodern memosisikan dirinya dalam konteks masyarakatnya?
Sumber:
·
KEMUDIAN,
DI MANAKAH EMANSIPASI? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan
Dekonstruksi, Jurnal Kalam, edisi 1 – 1994, Oleh Ahmad
Sahal
·
Steven Connor , 1989, Postmodernist
Culture, An Introduction to Theories of the Contemporary, Oxford
Sampai
Jumpa di Pertemuan ke 4
The gambling machines with video poker near me, casinos - Dr.
BalasHapusmaa casino in 천안 출장안마 St. Croix, MN will have 포항 출장마사지 a list 당진 출장안마 of video 태백 출장샵 poker machines at 하남 출장샵 their properties. The machines will be loaded with the newest,