Selasa, 02 Oktober 2012

Postmodern dalam Teater


TEATER MODERN

Pertemuan ke 3

Postmodern dalam Teater

Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi

·       Postmodernisme yang belakangan ini menjadi tema menonjol dalam wacana intelektual kita nampaknya masih ditanggapi secara sembrono. Di satu sisi, ia begitu mudahnya dirayakan, terutama oleh kalangan muda, sebagai bentuk kepekaan baru dan peralihan paradigma yang hampir total dalam menanggapi modernitas. Kata-kata kunci seperti dekonstruksi, différance, diskontinuitas sejarah, discourse, dan decentering menjadi semacam perangkat pemeriksaan terhadap apa saja. Artinya, segalanya mau dikait-kaitkan dengan, dan dilihat dari kaca mata postmodernisme. Sedangkan segala sesuatu yang masih berbau modern dianggap aus. Produk-produk kultural modernitas seperti paham otonomi subjek, prinsip rasionalitas, ilmu dan teknologi, juga demokrasi dan hak asasi di babat habis-habisan. Pokoknya serba ikonoklastik.
·       Sementara itu di sisi lain, sebagian kalangan justru terlalu cepat mencurigai dan melecehkan postmodernisme. Isme ini diidentikkan begitu saja dengan relativisme radikal yang mengarah pada anarkisme tak ketulungan ("Apa saja boleh!"); melantunkan sikap tanpa pemihakan; hanya membongkar tanpa mengajukan alternatif apa maunya; dan dalam konteks kita dianggap nggege mongso ("Modern saja belum terpenuhi kok sudah masuk postmodern!") Bahkan Frans Magnis-Suseno dalam wawancaranya di sebuah harian ibu kota akhir tahun lalu, dengan nada sinis menyebut pembicaraan postmodernisme saat ini sebagai tanda kedangkalan intelektual kita. Secara berolok-olok Magnis menyebut Dewi Soekarno sebagai contoh figur postmodernis karena menjungkirbalikkan nilai-nilai estetika dengan erotisme.( Kompas, 12 Desember 1993)
·       Ke dua pandangan di atas pada dasarnya adalah bentuk pengekstriman yang terlalu menyederhanakan, kalau bukan melebih-lebihkan, terhadap postmodernisme. Dan kalau diamati secara jeli, kita akan melihat bahwa meski berada dalam posisi yang saling berlawanan, keduanya sesungguhnya menyimpan asumsi yang kurang lebih sama, bahwa postmodernisme tidak lain adalah penolakan serta-merta terhadap modernitas, terhadap Pencerahan (Aufklärung) yang membawa janji emansipasi, dengan mengubur sama sekali kemungkinan adanya emansipasi itu sendiri. Artinya, konsep praksis yang mengandaikan emansipasi tidak lagi mendapat tempat. Bagi pendukung asumsi ini, postmodernisme dengan demikian adalah suatu kepekaan bahwa kehidupan kita tidak lebih dari permainan yang sepenuhnya ditentukan oleh bahasa, yang niscaya bersifat historis dan lokal. Kalapun ada yang disebut dengan "ide kebenaran", itu tidak lain adalah efek bahasa, hasil pembacaan tertentu terhadap "teks" kehidupan. Sebaliknya, di mata penghujat postmodernisme, asumsi tersebut tak pelak akan membawa pada nihilisme dan irasionalisme. Tidak heran kalau Jürgen Habermas, sang pemeluk teguh modernisme, menyebut Michel Foucault dan Jacques Derrida sebagai nihilis, obskurantis dan irasionalis (Butir-butir kritik Habermas terhadap kalangan postmodernis bisa dilihat dalam bukunya The Philosophical Discourse of Modernity, terjemahan F. Lawrence (Cambridge, Mass: MIT Press, 1987).
Asumsi bahwa postmodernisme identik dengan anti-emansipasi Pencerahan inilah yang harus diperiksa keabsahannya jika kita menginginkan pembicaraan postmodernisme tidak lagi menjurus pada kesembronoan seperti yang dialami dua pandangan ekstrim di atas. Sebab diakui atau tidak, gugatan postmodernisme terhadap modernitas membawa unsur-unsur yang jelas berbeda dengan gugatan yang pernah muncul sebelumnya, misalnya oleh Teori Kritis Frankfurt
(Teori Kritis Masyarakat (eine Kritische Theorie der Gesselschaft) atau "Teori Kritis" adalah mazhab pemikiran neo-Marxis yang pertama berkembang di Institut für Sozialforschung, salah satu jurusan resmi dalam Universitas Frankfurt yang didirikan di Frankfurt am Main pada tahun 1923. Para intelektual yang bergabung dalam institut ini cukup banyak, misalnya Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama institut), Max Horkheimer (filosof, sosiolog,  psikolog dan direktur sejak 1930), Theodor Wiesendrund-Adorno (filosof, sosiolog, musikolog), Walter Benyamin (kritikus sastra), Erich Fromm (psikolog sosial) dan Herbert Marcuse. Tapi sejauh yang disebut mazhab "Teori Kritis", yang lebih sering dimaksudkan adalah Horkheimer, Marcuse, dan Adorno untuk generasi pertama, dan Jürgen Habermas untuk generasi kedua. Pada dasarnya, generasi Teori Kritis pertama banyak diilhami oleh gagasan-gagasan seorang neo-Marxis, Georg Lukács (1885-1971), terutama konsep reifikasinya. Satu hal penting yang membedakan Teori Kritis dengan Marxis dan neo-Marxis lain adalah sikap independen mereka dari kubu Marxis, baik Sosial demokrat maupun Komunisme, karena secara praktis maupun teoritis mereka tidak memperlakukan Marxisme sebagai norma. Konteks sosio-historis yang melatari Teori Kritis adalah suasana dunia modern waktu itu yang diwarnai totaliterianisme Stalin, fasisme dan otoriterisme Nazi Hitler dan perang dunia yang mereka sebut sebagai "barbarisme baru". Karena itulah Teori Kritis sangat khawatir terhadap patologi rasionalitas modern. Lihat Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), 35-46. Sumber pustaka lain untuk ini di antaranya Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: Gramedia, 1983). Untuk sumber bahasa Inggris, lihat di antaranya Tom Bottomore, The Frankfurt School (London: Tavistocks Publications, 1984); Leszeck Kolakowski, Main Currents of Marxism: Its Origin, Growth and Dissolution, Vol III (Oxford: Clarendon, 1978); dan Z. Tar, The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W. Adorno (New York: A Wiley-Interscience Publication, 1977). Teori kritis juga melancarkan kritik yang tajam terhadap modernitas, terutama proses rasionalisasi yang berlangsung di dalamnya, namun dengan pengandaian-pengandaian yang masih berpijak pada modernisme Pencerahan. Ini bisa dilihat, antara lain, dari konsepnya tentang kritik dan praksis-emansipatoris. Sementara postmodernisme justru menggugat pengandaian itu. Bahkan pengertian kritisisme yang diajukan Teori Kritis pun dipertanyakan.
·       Persoalannya adalah apakah dengan demikian postmodernisme lantas tidak emansipatoris? Apakah postmodernisme adalah bentuk lain dari nihilisme dan relativisme, yang sedari dulu tampil sebagai kekuatan konservatif vis a vis rasionalitas modern, sebagaimana yang sering dinisbatkan pada Nietszche dan Heidegger? Apakah makna Pencerahan hanya diwakili oleh versi Teori Kritis? Untuk menjawab rangkaian pertanyaan ini, ada baiknya kita, mengikuti Michel Foucault, melakukan kilas balik untuk mencari konteks apa yang melahirkan gagasan tentang Pencerahan dan emansipasi.
Kritik dan Heroisme
·       Beberapa tahun sebelum meninggal, Foucault menulis esai--mungkin untuk menanggapi komentar Habermas tentang dirinya--yang berjudul: "Apa itu Pencerahan?" (Esai ini termuat dalam Paul Rabinow (ed.), Foucault Reader (New York: Pantheon, 1984), 32-50). Dengan ini, Foucault sebenarnya bermaksud mendengungkan kembali pertanyaan: Was ist Aufklärung? yang pernah terlontar dua abad lalu di Jerman, tepatnya pada bulan November 1784, dalam jurnal, Berlinische Monastschrift. Di antara penanggapnya waktu itu adalah Immanuel Kant. Pertanyaan ini sangat penting untuk dimunculkan lagi karena ia menandakan peletakan batu pertama filsafat modern, yakni filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut.
·       Jawaban yang kuat gaungnya waktu itu, kita tahu, berasal dari Immanuel Kant (1724-1804) ketika ia menegaskan bahwa Pencerahan adalah "jalan keluar" yang membebaskan manusia dari situasi ketidakdewasaan, yakni situasi manusia yang masih menggantungkan dirinya pada otoritas diluar dirinya, yang dengannya ia sendiri merasa bersalah, entah otoritas itu atas nama tradisi, dogma agama, ataupun negara. Pencerahan, dengan demikian, harus dipahami sebagai sebuah proses, sekaligus tugas untuk mencapai Mundigkeit, kedewasaan, dengan berani menggunakan rasio sendiri. Sapere Aude! (Beranilah berpikir sendiri!) menjadi semboyan kuatnya. Dari sinilah Kant lalu memunculkan konsep "kritisisme", yang dalam pandangannya berarti usaha untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemungkinan rasio, yang dengannya kita bisa menentukan apa yang mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan.
·       Pada umumnya, kritisisme Kant selalu dipahami sebagai sebuah solusi dan prinsip universal, sebagaimana bisa dilihat dalam pemikiran para filosof Pencerahan setelah Kant, seperti Hegel, Marx, Teori Kritis generasi pertama, Habermas, dan bahkan juga Magnis-Suseno. Seakan-akan rasio itu begitu unggul, mengatasi semua pengalaman yang bersifat partikular dan khusus, dan menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak yang universal, tak terikat waktu. Dan dengan ditemukannya rasio tersebut, maka Mundigkeit pun tercapai. Karena kritisisme dipahami dalam rangka standar universal, maka ia selalu berarti suatu penilaian, pengujian dan pemeriksaan klaim-klaim kesahihan dari satu posisi di luar arena, sudut pandang Archimedean, yang dengannya kebenaran bisa ditentukan desain dan arahnya. Dengan prinsip rasional, kehidupan publik pun lantas bisa diatur.
·       Demikianlah kita melihat hal itu pada G.W.F. Hegel (1770-1831). Pandangan Hegel bahwa sejarah adalah gerak rasionalitas yang menaik secara dialektis untuk mencapai totalitas dan kesempurnaan rasio itu sendiri menyiratkan secara kuat semangat universal kritisismenya. Universal karena kritisisme dalam arti Hegelian tidak lain adalah dialektika itu sendiri, sehingga segala perbedaan, otherness, oposisi, kontradiksi semuanya akan lebur dalam rekonsiliasi menuju totalitas tadi (Aufhebung). Meminjam ungkapan Adorno, bangunan sejarah Hegel yang totalistik mengarah pada suatu filsafat "identitas", di mana segala carut-marut perbedaan harus disubordinasikan ke dalamnya.
·       Kita juga melihat klaim universal dalam kritisisme Karl Marx (1818-1883). Menurut Marx, kritisisme tidak hanya gerak dialektika yang mengawang-awang dalam ide sebagaimana kata Hegel, melainkan juga terutama suatu praksis emansipatoris, yakni usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Dengan demikian, segala bentuk pengetahuan dan kesadaran yang masih berada dalam hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, jadi masih belum teremansipasi, pasti terdistorsi dan bias, karena itu bersifat ideologis dan palsu. Maka, kritisisme haruslah berusaha menghapus hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang tercermin dalam hubungan pemilikan alat-alat produksi agar pengetahuan dan kebenaran rasional tercapai. Dari sini kita bisa melihat bahwa pengetahuan sejati dan benar menurut Marx hanya ada dalam masyarakat komunis. Kebenaran, dengan begitu, sudah tersedia dan terletak di depan sana, bersifat objektif dan berlaku universal.
·       Dengan nada yang lebih aktual, kritisisme Hegel dan Marx--sekaligus bias universalnya--dilantunkan kembali oleh Teori Kritis aliran Frankfurt. Kata kunci yang paling digemari mereka adalah praksis emansipatoris. Sebagaimana para filosof Pencerahan sebelumnya, kritisisme Teori Kritis terletak pada obsesi mereka untuk menjadi Aufklarung, yang berarti mau menyingkap dan menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari kesadaran kita. Dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala hal, termasuk bangunan pemikiran Teori Kritis sendiri, Teori Kritis ingin mengajukan kembali maksud dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan pengisapan.
·       Karena terobsesi dengan cita-cita humanisme Marx muda tersebut, Teori Kritis generasi pertama, di antara yang terkenal adalah Horkheimer, Adorno dan Marcuse, memang sempat kecewa berat terhadap rasionalitas modern pada masa itu, yang dianggap kehilangan sifat kritisnya. Artinya, rasionalitas modern sudah melenceng dari khittah Pencerahan. Seperti ditunjukkan oleh Horkheimer dan Adorno dalam Dialektika Pencerahan dan Marcuse dalam Manusia Satu Dimensi, proses rasionalisasi masyarakat ternyata bermuara ke dalam tragedi agung. Karena mendewakan rasionalitasnya yang semula dikira memberi otonomi dan kebebasan, manusia modern justru terperangkap dalam sistem tertutup yang justru irasional dan hampa makna. Dalam kondisi demikian, tidak ada ruang sedikit pun bagi kritik kecuali bahwa kritik itu sendiri pasti ikut memperkuat sistem. Dalam masyarakat modern seperti ini, segala kontradiksi, penindasan, frustasi dan alienasi tidak lagi nampak. Seakan-akan semua aspek kehidupan berjalan lancar, efisien, produktif dan berdaya guna. Padahal yang sebenarnya berlangsung adalah proses dehumanisasi. Ketika kritik hendak bekerja menyingkap kesan semu ini, ia segera mendapati kenyataan bahwa sistem yang irasional itu justru malah merupakan akibat usaha manusia untuk bersikap rasional. Rasionalitas yang semula sangat kritis terhadap mitos-mitos tradisional pada gilirannya justru berubah menjadi mitos baru dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, Teori Kritis generasi pertama mengambil sikap pesimis terhadap rasionalitas, cenderung menarik diri (resignasi) agar tidak dicaplok oleh sistem, dan bahkan pada akhirnya terkesan anti-praksis (Lihat kata pengantar Franz Magnis-Suseno dalam Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: PT Gramedia, 1983), cetakan kedua, xix-xx).
·       Meski kesudahannya pesimis terhadap modernitas, Teori Kritis generasi pertama sebenarnya secara implisit tetap memahami kritisisme dalam rangka standar universal. Ini terbukti dengan pembedaan yang masih mereka pertahankan antara pengetahuan yang ideologis (pengetahuan yang melegitimasi sistem yang ada) dan pengetahuan sejati. Hanya saja mereka melihat bahwa pengetahuan modern pada masa itu justru ideologis karena terdistorsi oleh relasi kuasa masa modern yang bersifat opresif. Sedangkan pengetahuan rasional yang sejati, yakni yang bebas dari aneka relasi kuasa yang opresif, tetap ada meski kecil kemungkinannya terealisir saat ini.
·       Dalam perkembangan selanjutnya, pesimisme generasi Frankfurt awal direvisi oleh pewarisnya, yakni Jurgen Habermas. Intelektual yang belakangan justru secara lantang membela klaim universalitas standar rasional ini beranggapan bahwa "guru-guru"-nya di Frankfurt "salah baca" terhadap karakteristik Pencerahan modern. Habermas secara gigih ingin menyelamatkan elemen-elemen kritis emansipatoris dari Teori Kritis, dengan asumsi bahwa pencerahan Barat tidak hanya menjurus pada patologi, melainkan juga peningkatan diri dan pendewasaan kehidupan sosial.
·       Kesalahan generasi Frankfurt awal, menurut Habermas, adalah bahwa rasionalitas modern dipahami hanya sebagai "rasio-subjek", yakni yang melulu menyangkut kemampuan akal budi kita mengontrol proses-proses objektif alam semesta melalui "kerja." Inilah tipe rasionalitas yang oleh Weber disebut "rasionalitas-tujuan" (zweckrationalitat). Kalaupun rasionalitas modern nampak timpang dan opresif, hal itu karena rasionalitas-tujuan terlalu mendominasi dan menjarah segala aspek kehidupan.
·       Tapi bukan berarti ia menjadi alasan yang sah untuk bersikap pesimis dan menganggap kritisisme macet. Sebab, modernisasi masih mempunyai tipe rasionalitas lain, yang selama ini diabaikan oleh Marx dan generasi Frankfurt awal, yakni "rasio-intersubjektif" atau "rasio-komunikasi", yakni kemampuan akal budi untuk memahami maksud-maksud orang atau kelompok lain secara timbal balik. Proses rasionalisasi tidak perlu berujung pada dominasi dan opresi manakala ia dipahami sebagai pencapaian wacana argumentatif, di mana argumen yang lebih menawarkan klaim kesahihan yang lebih unggul, dapat diterima secara konsensus. Ketika komunikasi suatu ketika mengalami distorsi dan diselingi paksaan, ketika konsensus hanya merupakan pseudo-komunikasi, maka di situlah kritisisme rasional mulai berfungsi, yakni untuk menyingkirkan distorsi-distorsi tersebut. Dan itulah alasannya kenapa bagi Habermas modernisasi adalah "proyek sejarah yang belum selesai."
·       Berdasarkan hasil pelacakan di atas, kita pun mafhum bahwa kritisisme, yang menjadi ciri khas modernisme, di mata para pewarisnya berarti suatu "heroisme" dalam menanggapi situasi zamannya. Karena rasio sebagai prinsip kebenaran universal sudah ditemukan, maka alur sejarah pun bisa dipatok batas-batasnya dan telos (tujuan) sejarah bisa diprediksikan. Setidaknya itulah yang kita lihat pada Hegel ketika ia menganggap demokrasi liberal yang berkembang di Barat sebagai manifestasi kesempurnaan pembentukan diri rasio. Atau Marx ketika menggagas sosialisme ilmiahnya. Secara normatif, rasionalitas tersebut juga menjadi dasar pengorganisasian masyarakat modern. Setidaknya itulah kata Habermas ketika ia mengartikan "proyek modernitas" yang dirumuskan oleh para filosof Pencerahan sejak abad ke-18 sebagai:
·         "rangkaian usaha untuk mengembangkan ilmu objektif, moralitas dan hukum universal serta seni otonom menurut logika-dalam masing-masing. Pada saat yang sama, proyek ini dimaksudkan untuk membebaskan potensi-potens kognitif setiap domain tersebut dari bentuk-bentuk esoterisnya. Para filosof Pencerahan bermaksud mendayagunakan akumulasi dari satuan-satuan budaya itu untuk memperkaya (makna) kehidupan sehari-hari--yakni demi terciptanya suatu penataan kehidupan sosial secara rasional." (Pernyataan Habermas ini dikutip dari Steven Best dan Douglas Kellner, Postmodern Theory (Hampshire, London: Macmillan Education Ltd, 1991), 233)
Selain itu, kritisisme juga membawa pada "keseriusan" dalam menanggapi kehidupan. Seandainya kita bayangkan, para filosof Pencerahan adalah tipe filosof yang secara serius bergulat dengan pemikiran-pemikiran "keras", lewat konsep-konsep, argumentasi filsafat dan teori-teori, untuk mencari kebenaran dan jawaban-jawaban yang definitif tentang inti segala sesuatu, termasuk dasar pengaturan kehidupan publik. Mereka begitu yakin bahwa kebenaran yang mereka kejar bisa secara persis berkoresponden dengan realitas di luar sana; bahwa konsep dan penggambaran filosofis mereka mampu menjadi cermin realitas. Dengan kata lain, mereka tidak menaruh kecurigaan sama sekali terhadap bahasa yang mereka pakai. Tidak heran kalau kemudian konsep dan teori yang mereka rumuskan diyakini mampu menjadi landasan bagi tindakan pencerahan dan praksis emansipasi.
Masyarakat Disiplin
·       Dengan kritisismenya, Foucault pada akhirnya sampai pada upaya penyingkapan karakteristik dunia modern yang mampu menjungkirbalikkan asumsi-asumsi filosof Pencerahan. Dalam pandangan filosof Pencerahan, manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, mandiri, dan mampu menentukan diri sendiri. Mereka juga percaya adanya pemilahan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni (rasional, objektif, dan tidak terdistorsi oleh mitos atau hubungan kekuasaan yang menindas) dengan pengetahuan palsu dan tidak murni (irasional, subjektif, dan ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu).
·       Pandangan demikian ditolak keras oleh Foucault. Dalam Disiplin dan Hukuman dan Sejarah Seksualitas, Foucault secara jenial melukiskan bagaimana individu modern, sebagai subjek maupun objek, sebenarnya lahir dan diciptakan oleh multiplisitas dalam jaringan kuasa. Lewat tehnik disiplin dan normalisasi, individu diciptakan sebagai objek. Dan lewat praktek "pengakuan" dan "penguasaan-diri" dalam wacana seksualitas, ia diciptakan sebagai subjek yang membicarakan dirinya sendiri. Selain itu, Foucault juga menegaskan bahwa distingsi antara pengetahuan murni (yang bebas kekuasaan) dan pengetahuan ideologis (yang bias kekuasaan) hanyalah ilusi belaka. Sebab menurut Foucault, pengetahuan dan kekuasaan terpilin dalam kesatuan tunggal.
·       Pandangan Foucault mengenai kuasa dan model teknologi kuasa apa yang beroperasi dalam dunia modern sangat penting untuk dicermati karena dari sinilah kita bisa melihat sejauh mana kritisisme Foucault berimplikasi pada praksis dan emansipasi. Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah seperti apa yang dikatakan kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Kekuasaan bukan pula seperti apa yang dikatakan kaum Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh klas tertentu untuk mendominasi dan menindas klas lain. Kekuasaan bukan institusi, struktur, atau kekuatan menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang komplek dalam masyarakat (Lihat tulisan Colin Gordon sebagai penutup dalam Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, diedit oleh Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 236). Dalam relasi, tentu saja ada yang di atas ada yang di bawah, ada yang di pusat ada yang di pinggir, ada di dalam ada yang di luar. Tapi bukan berarti kekuasaan semata-mata terletak di atas, di pusat, atau di pinggir. Sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar dan hadir di mana-mana ibarat jaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki dan perempuan, yang saleh dan laknat.
·       Fenomena demikian terutama terasa menyolok sekali dalam masyarakat modern yang ditandai rejim "disiplin." Artinya, teknologi kuasa modern tidak lagi bekerja secara terang-terangan, seperti halnya kuasa raja untuk menghukum dalam masyarakat feodal. Kuasa modern bekerja secara anonim dan tak kelihatan lewat disiplinisasi. Teknik disiplin ini meliputi kontrol kegiatan melalui penetapan jadwal dan pelaksanaannya dengan tujuan menghasilkan ritme dan keteraturan; juga kontrol lewat penetapan aturan-aturan terhadap masyarakat, dengan ganjaran bagi yang taat dan hukuman bagi yang membangkang; bahkan juga kontrol mental lewat sosialisasi nilai-nilai moral dan etika kerja (Lihat pengantar Paul Rabinow dalam Foucault Reader, 17).
·       Dengan kuasa disiplin inilah, individu-individu modern yang mengidealkan hidup bebas, produktif dan mandiri dibentuk, dijinakkan, dikembangkan, dan ditundukkan. Semakin mereka merasa bebas dan produktif justru semakin menunjukkan betapa kuasa anonim tersebut berfungsi secara efisien. Dalam konteks ini, kiranya tepat apa yang dikatakan Foucault bahwa lanskap arsitektur kuasa modern merupakan matriks pengurungan yang mirip dengan model panopticon yang diajukan Jeremy Bentham (1784-1804) (Panopticon merupakan model matriks mekanisme kuasa dalam bentuk penataan ruang sedemikian rupa sehingga semua penghuninya bisa dipantau secara sangat transparan. Desainnya kira-kira demikian: sebuah halaman luas, dengan menara di tengahnya dan dikelilingi oleh serangkaian bangunan yang dibagi-bagi dalam tingkat-tingkat dan sel-sel. Dalam masing-masing sel terdapat dua jendela: satu untuk menerima sinar dari luar dan satunya lagi menghadap jendela menara. Dengan begitu, segala isi sel bisa terpantau dari menara. Masing-masing sel jadinya seperti teater kecil, dengan seorang aktor yang sendirian tapi secara konstan kelihatan terus. Dalam kondisi demikian, para penghuni merasa diawasi terus menerus sehingga akhirnya ia membatinkan pengawasan dalam dirinya sendiri. Dia kemudian menjadi pengawas bagi dirinya. Model panopticon ini memperlihatkan bagaimana kuasa modern berfungsi secara anonim dan hadir di mana-mana. Bandingkan Michel Foucault, Discipline and Punish (New York: Vintage Books, 1979), 200. Juga Hubert Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 188-192). Sasaran utama dan efek yang paling nyata dari disiplin ini adalah "normalisasi", penyingkiran segala yang dianggap menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak teratur baik secara psikologis maupun sosial. Jadi, masyarakat modern yang kelihatannya rapi, kokoh, normal, dan tertib sebenarnya menyembunyikan bentuk-bentuk dominasi dan penundukkan secara canggih.
·       Namun bukan berarti kekuasaan semata-mata negatif dan represif. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan justru beroperasi secara positif dan produktif. Sebab, kekuasaan selalu menciptakan pengetahuan/kebenarannya sendiri sebagaimana pengetahuan juga menyokong kebenaran. Gagasan Foucault mengenai pengetahuan/kebenaran ini secara radikal membedakannya--untuk yang ke sekian kalinya--dengan para filosof Pencerahan, tak terkecuali Teori Kritik yang masih memisahkan antara kebenaran dan ideologi, antara pengetahuan dan kekuasaan. Kebenaran, di mata mereka, adalah entitas yang berada di luar relasi kekuasaan, yang berada "di depan sana", yang dengannya relasi kekuasaan bisa diperiksa dan diatur cara kerjanya.
·       Pandangan ala Pencerahan ini jelas ditolak Foucault. Menurut Foucault, kebenaran tidak terletak di luar, tapi di dalam kuasa. Kebenaran tidak lain adalah relasi kuasa itu sendiri; adalah ensembel aturan-aturan yang menentukan kita, yang kita anggap pasti dan benar bagi kesadaran kita, untuk memilah-milah, mengklasifikasi dan memperlakukan mana yang benar mana yang salah, mana yang sah mana yang batal, mana yang adil dan mana yang tidak, dan seterusnya; adalah sistem prosedur-prosedur untuk memproduksi, mengatur, menyebarkan dan mengoperasikan pernyataan-pernyataan (Foucault, Power/Knowledge, 132-133).
·       Dari sinilah Foucault akhirnya menandaskan bahwa pengetahuan apapun tidak pernah melampaui "rejim kebenaran/kuasa"-nya sendiri. Setiap pengetahuan pasti terbentuk dan terikat dalam kondisi-kondisi sosio-historis yang kongkret, dalam kesementaraan, dan tidak pernah mentransformasikan diri menjadi kebenaran-kebenaran objektif dan universal.
·       Teater yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodern dengan sendirinya membentuk filosofi tersendiri.

Ringkasan

Per­tanggungjawaban teater postmodern kontemporer Perancis. Josette Feral melihat kekhasan teater postmodern selama ini dalam penolakannya terhadap narasi dan dari 'organisasi simbolik yang mendominasi teater'. Teater akan diperbuat atas 'pemindahan posisi keinginan terus menerus', tidak pernah menyediakan penontonnya sesuatu untuk dipahami, 'kecuali arus yang mengalir, jaringan dan sistem'. (Feral, 'Performance and Theatricality', hal. 177-179). Demikian pula Regiss Durand mengatakan bahwa orang yang mengorganisasikan kekuatan teater 'adalah bukan daya dorong dan hubungan cerita yang terlalu lama, tetapi lebih melapiskan ke atas atau "lapisan", "pekerjaan yang mengikuti jalan" (Lee Bruer), nukilan, pengu­langan, gambar tiruan di atas kertas tipis, dan menghapus, menggandakan, "menghantui" (Herbert Blau), me-nerjemahkan, pemindahan, dan lain-lain (Durand, 'Theatre/SIGN/ Performance, hal. 220). Macam teater yang digunakan untuk memberikan  syarat ini adalah Ontological-hysteric Theatre dari dramawan Amerika Richard Foreman.
Pengalaman seseorang dari pertunjukannya dijelaskan oleh Chantal Pontbriand:
Dalam produksinya tak ada mata -juga telinga-  yang dapat menemukan gabungan titik yang diistirahatkan. Penonton dalam drama Foreman dibombardir oleh keserbaragaman peristiwa penglihatan dan pendengaran. Pada  tingkat pendengaran ada perubahan yang  terus menerus pada sejumlah perlengkapan panggung  secara geometris, juga dengan suatu pemeranan. Pemindahan potongan-potongan perabotan dan bagian-bagian dari perlengakapan  mengubah konteks, juga  dengan mem­berikan lebih besar kedalaman atau dengan mencipta­kan tanpaan tingkat variasi dalam kedalaman atau ketinggian. Pencahayaan juga berubah secara terus menerus; Perpindahannya harus terjadi secara perla­han atau dengan cepat dan harus mempengaruhi pang­gung  dan mirip rumah; penonton harus secara  tiba-tiba menemukan pemandian mereka sendiri dalam cahaya ketika lampu sorot diturunkan pada mereka tanpa peringatan.  Seperti  untuk suara, segala sesuatu direkam: terompet mobil, sirene, siulan, bitits  of Jazz sama baiknya dengan dialog itu sendiri. Naskah dipenggal, dipersingkat, aphoristic,  kalimat  tak saling berhubungan (Portbriand, "The eye  find no fixxed point...",p.159)

Topik Diskusi

1.          Jelaskan pendapat anda tentang perkembangan pemikiran postmodern dengan teater
2.          Seberapa besarkan pengaruh pemikiran kritis dalam menggerakkan pertumbuhan pemikiran dalam teater
3.          Apakah masyarakat sekarang dapat memahami pola pertun-jukan teater postmodern yang bersifat dekonstruktif. Bagaimana teater kontemporer postmodern memosisikan dirinya dalam konteks masyarakatnya?
Sumber:
·         KEMUDIAN, DI MANAKAH EMANSIPASI? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi, Jurnal Kalam, edisi 1 – 1994, Oleh Ahmad Sahal
·         Steven Connor , 1989, Postmodernist Culture, An Introduction to Theories of the Contemporary, Oxford

Sampai Jumpa di Pertemuan ke 4

1 komentar:

  1. The gambling machines with video poker near me, casinos - Dr.
    maa casino in 천안 출장안마 St. Croix, MN will have 포항 출장마사지 a list 당진 출장안마 of video 태백 출장샵 poker machines at 하남 출장샵 their properties. The machines will be loaded with the newest,

    BalasHapus