Selasa, 02 Oktober 2012


TEATER MODERN
Pertemuan ke 15

TEATER KONTEKSTUAL
SEBUAH CATATAN UNTUK TEATER INDONESIA


·       Di atas panggung, kita menyaksikan seorang perempuan berusia belasan tahun yang merupakan salah seorang siswa SMU di Jawa Timur, bersama dua temannya menampilkan sebuah adegan yang memperlihatkan kepada penonton, bahwa diantara mereka sedang terjadi pembicaraan yang tidak terlalu serius. Mereka bermain kartu di sebuah pos ronda. Perempuan A, tiba-tiba mendengar suara Azan (panggilan sembahyang untuk pemeluk agama Islam). Perempuan A ini, dengan sedikit sempoyongan sambil memegang botol yang mirip botol minum keras, bertanya, “suara apa itu?”. Perempuan B menjawab, “itu suara azan”. Perempuan A menjawab, “Azan?”. “Apa itu azan?”. Perempuan C menjelaskan apa yang dimaksud dengan azan. Perempuan A, kembali mempertanyakan, “Azan itu apa?”.
·       Dialog dalam adegan sebuah pertunjukan teater diatas, hendak menegaskan adanya seseorang yang tidak mengetahui apa itu azan. Sepintas, kita tentu bisa memahami, bahwa ada orang yang tidak tahu Azan itu merupakan kata yang memiliki makna penting dalam panggilan sembahyang umat Islam. Namun demikian, apakah kita bisa memahami, untuk seorang yang sudah berusia belasan tahun, hidup dalam perilaku manusia Indonesia, tidak mengenal azan. Dalam keadaan tidak sadar bagaimanapun, selagi kita masih bisa mengenal orang-orang di sekeliling kita, kalimat-kalimat yang dikumandangkan seorang Mu’azzim itu, sangat mudah untuk dipahami.
·       Seorang pengarang dalam cerita ini, tentu tidak bermaksud untuk menunjukkan kepada kita, bahwa seorang wanita berusia belasan tahun itu tidak mengenal azan, tetapi pengarang drama ini hendak menunjukkan kepada kita, bahwa ada salah seorang warga yang memiliki moralitas tertentu yang tidak peduli dengan adanya suara azan tersebut. Sebagai pembaca maupun penonton kita memahami apa yang terjadi. Tetapi, apakah kita bisa memahami cerita ini, bila kita menghubungkan konteks cerita dengan konteks pelakunya (remaja berusia belasan tahun dan tinggal di Indonesia). Inilah persoalan kita yang pertama, yakni hubungan konteks cerita dengan konteks pelaku.
·       Dalam teater-teater yang menggunakan naskah drama sebagai sumber pertunjukannya, memang terjadi semacam dilema dalam menghubungkan konteks cerita atau drama dengan pelakunya. Seorang anak berusia lima tahun di Taman Kanak-kanak, memerankan seorang Bapak atau Ibu yang terjadi dalam lingkungan mereka. Kita juga bisa menemukan seorang anak sekolah yang memerankan kakek atau nenek, seorang pemabuk, seorang pahlawan perang dan sebagainya. Semua peran-peran itu, bukanlah diri mereka yang sebenarnya, tetapi diri atau pengalaman orang lain yang ditirukan atau dicoba untuk dijelmakan kembali menjadi seorang tokoh atau peran, berdasarkan sebuah naskah drama. Meskipun peran itu dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, tetap saja peran itu bukan diri dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, semua itu dapat dilakukan dan terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya.
·       Cara berteater yang sudah mengakar ratusan hingga ribuan tahun itu, sangat mudah dipahami, dan menjadi cara berteater kita yang sangat umum dan lazim, serta mendapat sambutan yang luas dari masyarakat. Bahkan, jika berteater bukan dengan cara seperti itu, dianggap bukan teater yang sesungguhnya, tetapi eksplorasi gerak, mini kata, “teater murni”, “teater total”, dan sebagainya. Inilah persoalan kita kedua, yakni kebiasaan masyarakat dalam memandang dan memperlakukan teater dengan peniruan pengalaman yang berada diluar diri mereka sendiri.
·       Masyarakat Indonesia adalah masyarakat penonton. Dalam konteks ini muncul anggapan, bahwa tontonan itu adalah tuntunan. Tontonan atau pertunjukan teater diletakkan dalam konteks untuk mendapatkan “pelajaran”, “ajaran”, “pendidikan”, maupun “pengarahan” melalui suatu instrumen yang bernama pesan. Teater dituntut untuk dapat memunculkan pesan tertentu, dan penonton akan memberikan pertimbangan atas pesan tersebut. Pemusatan pada pesan ini melahirkan suatu teater dengan konklusi “hitam-putih”, “baik-buruk”, atau “kebaikan melawan kejahatan”. Akibatnya, penonton tidak memiliki kesempatan untuk membangun konteks pertunjukan atas nama dirinya sendiri. Inilah persoalan kita ketiga, yakni kesempatan penonton untuk menemukan sendiri konteks pertunjukan teater dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka.
·       Dari ketiga persoalan tersebut, marilah kita coba lihat sebuah pertunjukan lain di Gelanggang Olahraga Bulungan Jakarta Selatan, beberapa tahun yang lalu. Sebuah panggung dipenuhi oleh balon-balon warna warni. Sejumlah orang menggunakan pakaian pesta. Di tengah panggung terdapat sebuah kue tart, lengkap dengan lilin dan pemotong kue, serta minuman. Salah seorang dari kerumunan orang yang berada di situ –ada yang duduk dan berdiri, menyatakan selamat datang di pesta ulang tahun yang diperingatinya. Suasana ulang tahun pun terjadi. Semua orang merasakan, bahwa dirinya sedang ikut merayakan ulang tahun. Antara penonton dan pemain tidak ada pemisahan yang tegas. Penonton bahkan punya hak bicara, karena dalam pertunjukan tersebut, penonton memang adalah undangan dari yang sedang berulang tahun.
·       Ilustrasi pertunjukan di atas, mencoba memecahkan tiga persoalan kita sebelumnya. Pertanyaan kita, apakah pertunjukan teater semacam ini yang disebut “Teater Kontekstual?”. Jika kita membuka kamus maupun indeks tentang teater, maka hampir pasti kita tidak menemukan istilah yang aneh ini. Dalam arsitektur, kita mengenal kontekstualisme, yaitu sebuah gerakan yang menekankan pengabaian terhadap arsitektur modern untuk memahami dan menanggapi konteks fisik sebuah bangunan (steven Connor, 1989: 73). Apakah kita bisa menariknya dalam pembicaraan tentang “Teater Kontekstual”? Tentu saja tidak, karena terdapat perbedaan signifikan antara pengertian “kontekstualisme” dengan realitas teater itu sendiri.
·       Dalam teater ada suatu contoh tentang Teater of fact, yaitu teater yang mencoba untuk menggambarkan peristiwa yang sedang aktual dengan pertunujukan yang otentik, dan berkembang di Amerika sekitar 1930-an, misalnya lakon The Deputy, dan The Investigation (Edwin Wilson, 1998: 450). Medua massa –terutama surat kabar, menjadi sumber penggalian mereka. Teater ini memang mencoba untuk membangun konteks cerita dengan konteks kehidupan masyarakat, terutama dari pergumulan informasi yang sedang berkembang. Metode semacam ini cukup banyak kita temukan dalam teater-teater di Indonesia, seperti yang dilakukan Teater Gandrik, Teater Koma, maupun Teater Mandiri. Isu-isu aktual dikemas dalam bentuk teater. Dan, ternyata juga mampu menarik minat masyarakat. Apakah teater semacam ini dapat kita sebut teater “kontekstual”? Tentu juga tidak, karena konteks dibangun atas dasar peristiwa di luar diri pelaku dalam teater tersebut.
·       Untuk mendapatkan jawabannya, saya ingin mengajak kita semua untuk memasukinya lewat sebuah pendekatan pembelajaran yang kini mulai digunakan dalam dunia pendidikan kita, yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL). Sedikitnya terdapat lima unsur yang mendukung terciptanya “Teater Kontekstual” dengan memahami terlebih dahulu prinsip konstruktivistik, yakni terjadinya pengaktifan pengerahuan yang sudah dimiliki, muncul dan didapatkannya pengetahuan baru, terjadinya pemahaman terhadap suatu pengetahuan, dapat dipraktekkannya pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan, serta dapat melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (dimodifikasi dari pandangan John A. Zahorik (1995: 14-22).
·       Disamping itu, teater “Kontekstual” juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari penonton. Dalam prinsip teori “Membaca dan Menyaksikan”, kita mengenal pula teori “Pembaca-Penanggap” (Susan Bennett, 1997: 20-85). Prinsip utamanya adalah titik utama membaca lakon maupun menyaksikan pertunjukan adalah penemuan sendiri oleh pembaca maupun penonton terhadap konteks keberadaan (sosial, psikologis, fisik, kebudayaan, ekonomi, ideologi) dirinya, ketika menghadapi penandaan estetik atau karya-karya seni.
·       Akhirnya, saya mencoba merumuskan apa yang kita bicarakan tentang “Teater Kontekstual” (untuk sementara), meminjam pernyataan Peter Brook, “individu mempersembahkan kebenaran mereka yang paling mempribadi kepada individu lain… membagi pengalaman kolektif bersama mereka”, dan “pengalaman pribadi berhenti menjadi tujuan, dan kita mengarah pada penemuan bersama” (Shomit Mitter, 2002, 157). Teater Kontekstual mengandaikan adanya suatu penjelajahan yang berdasarkan kehidupan masing-masing individu, dan menemukan konteksnya dalam kebersamaan dengan individu lainnya. Apakah ada teater di Indonesia yang bekerja dengan prinsip seperti ini? Apakah prinsip ini menjadi pilihan yang mungkin untuk kita lakukan? Apakah manfaatnya bagi kita semua? Apakah cara berteater yang lain tidak kontekstual, atau perlu berada dalam “jalur” teater kontekstual? Masih banyak pertanyaan lagi yang mesti kita lontarkan pada “Teater Kontekstual”.

Ringkasan

Teater Kontekstual juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari penonton.

Topik Diskusi

1.    Apakah yang anda pahami tentang teater kontekstual?
2.    Jelaskan pendapat anda konteks kerja teater dengan lingkungannya.
3.    Cobalah identifikasi teater yang berkiblat pada konteks publiknya

Bersambung ke Pertemuan 16

Daftar Pustaka


Bennett., Susan, 1997, Theatre Audience, London and New York: Routledge

Connor, Steven, 1989, Postmodernist Culture, An Introduction to Theories of the Contemporary, Oxford and Cambridge: Basil Blackwell, Inc.

Mitter., Shomit, 2002, Sistem Pelatihan Stanislavsky, Brecht, Grotowski dan Brook, penerjemah Yudi Aryani, Yogyakarta: MSPI dan arti

Wilson., Edwin, 1998, The Theatre Experience, New York: McGraw-Hill Book Company.
                                                                                                            
Zahorik, John A., 1995, Constructivist Teaching (Fastback 390), Bloomington, Indiana: Phi-Delta Kappa Educational Foundation.

TEATER MODERN
Pertemuan ke 14

TEATER DAN KEBUDAYAAN

·       Teater dipandang sebagai salah satu seni yang memiliki banyak kemungkinan melakukan protes atau perlawanan terhadap kekuasaan atau rezim yang menjalani suatu pemerintahan. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, bila teater dipandang sebagai manifestasi kehidupan yang nyata dihadapi oleh setiap umat manusia. Bagaimanapun juga, masih banyak bidang kehidupan lain dapat melakukan protes atau perlawanan yang lebih signifikan, sebut saja misalnya, partai politik dan demonstrasi mahasiswa, LSM dan buruh. Namun demikian, pandangan yang menempatkan teater lebih aktif dalam mengeksplorasi sisi kekuasaan tersebut, tidak dapat dipungkiri begitu saja. Untuk itu, diperlukan suatu penjelasan yang lebih konkrit tentang bagaimana teater tersebut sesungguhnya dalam melakukan eksplorasi-eksplorasi yang bertitik tolak dari penanaman kehidupan manusia yang berkorelasi dengan kebudayaan sebagai wacana pendidikan yang paling dominan.
·       Teater memang memiliki “alat” yang paling konkrit berupa pengucapan langsung terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Pengucapan tersebut bisa secara verbal maupun non verbal disampaikan kepada publiknya. “Alat” teater tersebut sepertinya tidak terbatas dalam penggunaannya. Sehingga, teater --tidak berlebihan bila dianggap lebih memiliki peluang produktif menciptakan perubahan dalam kehidupan sosial maupun kebudayaan. Teater dan Kebudayaan merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan, karena teater lahir dari suatu cara hidup yang dibangun oleh masyarakat atau manusia pencipta kebudayaan itu sendiri.
·       Di banyak negara-negara dunia ketiga, teater masih menempatkan posisi yang tidak ”menguntungkan” dari segi pandangan politik. Teater seolah-olah ”barang haram” atau suatu aktivitas individu maupun kelompok yang dapat menggangu tatanan sosial maupun kebudayaan tertentu yang telah ditanamkan pada suatu masyarakat.
·       Era pemerintahan Orde Baru di Indonesia misalnya, telah terbukti bagaimana teater dilarang pertunjukannya atau dilarang sosialisasinya, karena terdapat kata-kata maupun tema serta gerak geriknya yang mengindikasikan perlawanan terhadap kekuasaan yang sedang bertahta. Kita masih ingat bagaimana Opera Kecoa dari Teater Koma Jakarta yang dipertunjukkan di Graha Bhakti Budyaa Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta di segel oleh pihak berwajib, karena di anggap mengespresikan situasi kekuasaan yang sedang berlangsung. Begitu pula dengan pertunjukan teater Marsinah Menggugat yang digelar oleh teater yang didalamnya terdiri dari para buruh di Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta.
·       Bahkan  di Kuba, seluruh penonton pertunjukan teater yang sedang asyik menyaksikan pertunjukan, di giring ke dalam sejumlah kendaraan terbuka untuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
·       Pertunjukan teater pada saat-saat tertentu memang sedemikian rumit untuk diselenggarakan. Begitu pula dengan diskusi-diskusi yang membicarakan atau yang melakukan kajian terhadap teater. Maka, tidaklah mengherankan bila pertunjukan dan diskusi buku-buku tentang teater --juga disiplin ilmu lainnya, nyaris tidak menyentuh kenyataan kemanusiaan atau kehidupan yang ada.
·       Bentuk-bentuk penyaringan terhadap semua aktivitas tersebut sudah sangat ketat, dan akhirnya ”membunuh” kehidupan teater. Hingga saat ini, hal semacam itu masih saja menghantui, meskipun dalam bentuk yang lain. Yakni, lahirnya manusia-manusia yang berpikiran sempit, dan memandang sebelah mata terhadap teater. Pandangan yang sempit dan melakukan pengkotak-kotakan terhadap dunia kesenian pada umumnya, dan teater khususnya telah pula menghambat terjalinnya sinergi antara satu kesenian dengan kesenian lainnya. Misalnya, antara tari dan teater, antara seni rupa dan teater, antara musik dan teater, dan seterusnya.
·       Padahal, apa yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian. Paling tidak, seperti yang dikemukakan oleh James Roose-Evans dalam bukunya Theatre Experimental, from Stanislavsky to Peter Brook (1989: 91-100), bahwa tari modern yang dibangun oleh Martha Graham dan Alwin Nokolais memberikan kontribusi yang besar terhadap teater. Pengakuan semacam ini sangat banyak muncul dalam dekade lima puluhan, seiring dengan semakin terbukanya kreativitas seni dalam melakukan berbagai eksplorasi. Keterbukaan eksplorasi tersebut juga dimungkinkan oleh semakin jenuhnya para pelaku seni dalam pengkotak-kotakan seni.
·       Dalam teater sendiri, pencipta ide  ”Teater Miskin” Jerzy Grotowski misalnya, menolak bahwa teater merupakan kumpulan dari sejumlah disiplin, seperti tari, musik, seni rupa dan sastra. Namun demikian, pendapat bahwa teater merupakan kumpulan dari berbagai disiplin ilmu masih sangat kental dalam pendidikan seni maupun dalam aktivitas seni pada masyarakat kita.
·       Antonin Artaud yang menggagas ”Teater Kacau” (Theatre of Cruelty) dalam bukunya The Theatre and Its Double (1958:7-13) misalnya, menegaskan bahwa persoalan teater sekarang ini berhadapan dengan persoalan kebudayaan manusia-manusia yang lapar. Jadi, teater sejenak harus ditinggalkan karena manusia masih membutuhkan makan ketimbang terlibat dalam teater. Begitu pula dengan kebudayaan. Dalam dunia yang lapar, perhatian dan usaha-usaha membangun kebudayaan sejenak menjadi tidak penting.
·       Persoalan-persoalan kemasyarakatan dan upaya membangun perekonomian yang maju menjadi prioritas utama. Untuk itu, kita tidak perlu heran bila pemerintah Indonesia misalnya, menempatkan kesenian pada umumnya, dan teater khususnya pada prioritas yang paling bawah. Bahkan, terhadap dunia pendidikan pun, prioritas utama tidak diberikan. Di satu sisi, barangkali ada benarnya. Bagaimana mungkin manusia dapat menikmati kesenian bila perut mereka kosong dan tidak mampu melakukan pencerapan yang memadai. Namun di sisi lain, asumsi ini harus dipertimbangkan lagi, karena kesenian bukan persoalan mengisi perut, tetapi merupakan permasalahan besar umat manusia dalam membangun tatanan kehidupan yang mereka jalani di dunia. Teater merupakan investasi kebudayaan dengan membangun spirit kehidupan, bukan persoalan mengisi perut, tetapi persoalan mempertimbangkan secara bijaksana tatanan kehidupan manusia yang seharusnya di tempuh dan di bangun dalam seluruh tatanan kehidupan yang ada.
·       Kehidupan manusia memiliki unsur pembangun yang sangat kompleks. Mulai dari kemampuannya berbicara, berilmu pengetahuan, moral, etika hingga keberadaannya sebagai pemimpin di muka bumi. Oleh karena itu, diperlukan media yang memadai untuk membuka jalan bagi terselenggaranya unsur-unsur pembangun bagi manusia. Salah satunya adalah kesenian, dan lebih spesifik lagi adalah teater.

Teater dalam Kehidupan

·       Teater bukan hanya suatu pertunjukan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Secara spesifik teater bukanlah semata-mata peniruan ataupun cermin, tetapi ia adalah kehidupan yang dijalani umat manusia dalam memahami dan menjalani segala perbuatan yang dilakukannya di bumi.
·       Pada awal dipahaminya teater, yakni dari bangsa primitif yang melakukan perburuan dan anak-anak yang bermain “mama-papa” serta upacara-upacara ritual bangsa-bangsa yang lahir paling awal di dunia, semua itu menunjukkan satu hal, bahwa semua yang terjadi itu berangkat dari apa yang terjadi dalam kehidupan, biasa realistik --yakni, yang berangkat dari kehidupan sehari-hari, maupun yang non realitisk --yakni, yang merupakan imajinasi manusia dalam memandang kehidupan tersebut.
·       Memang, semua teater berangkat dari kehidupan yang dihadapi oleh para pelakunya. Tetapi, tidak semua teater memahami betul bagaimana mereka seharusnya memasuki kehidupan tersebut. Karena kehidupan yang dimasuki tersebut juga tidak dapat menghindarkan diri dari persoalan-persoalan di mana mereka harus menempatkan matra kebudayaannya sebagai bagian penting dalam memasuki teater. Teater-teater di dunia memiliki jalan sejarah yang berbeda-beda. Jalan sejarah tersebut bukan saja melahirkan isme-isme teater, tetapi juga melahirkan ideologi-ideologi baru dalam memahami kehidupan. Seperti munculnya teater modern yang berangkat dari tiga aspek penting, yakni politik, sosial, dan revolusi pemikiran (Cohen: 173). Dari ketiga aspek itu pun dapat dibedakan lagi dengan beberapa aspek yang menunjang pemahaman kehidupan atas dasar kebudayaan yang dibangun oleh berbagai bangsa.
·       Di Jerman, awal kebangkitan teater modern yang dipelopori dengan munculnya konsep dramaturgis “Strum und Drung” oleh Goethe dan Schiller merupakan sebuah bagian dari perlawanan kedua dramawan dan penyair ini terhadap kekuatan borjuasi yang sedemikian rupa menguasai tatanan pemikiran masyarakat Jerman, seiring dengan lahirnya gerakan Romantisme. Lain lagi dengan pelopor teater Realisme seperti pengarang dan penyair Norwegia Hendrik Ibsen yang menghadapi kebobrokan moral masyarakat hingga pelecehan seksual kalangan petinggi kerajaan atau kalangan bangsawan.
·       Perkembangan yang sedemikian pesat dalam teater modern dengan munculnya gerakan simbolisasi yang merupakan bagian dari bergeloranya stilisasi dalam teater, pandangan kehidupan semakin menajam dan memperlihatkan bagaimana teater sangat peduli pada pertumbuhan tatanan kebudayaan di tengah-tengah masyarakat.
·       Penolakan terhadap teater realistik yang hanya berbicara gambaran kehidupan nyata tanpa memberikan kesempatan konstruksi imajinatif manusia, membuat kalangan simbolis dengan sejumlah gerakannya, seperti Eksprsionisme. Teaterikalisme, Drama Eksistensialisme, Teater Absurd, Teater Alienasi, Komedi Kontemporer Manner, maupun Supra-realisme, merasakan betapa kehidupan berkemungkinan mengalami penyempitan.
·       Penyempitan kehidupan itu hanya akan membuat manusia menjadi makhluk yang patuh tanpa sebab, atau membisu seribu bahasa, ketika tantangan kehidupan mengalir di depan mata.
·       Persoalan-persoalan seperti kegagalan komunikasi antar manusia, kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupan serta ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi gencarnya teknologi terapan yang mengantar manusia pada kenisbian identitas kemanusiaan membuat banyak kalangan teater harus mengoreksi kembali perlakuan mereka terhadap naskah lakon dan posisi mereka dalam menentukan berlangsungnya proses berteater.
·       Teater bukan lagi sebuah kenyataan dalam kehidupan, tetapi merupakan proses-dengan-kehidupan itu sendiri. Hal ini artinya, bahwa teater tidak berbicara tentang kehidupan semata, tetapi bersama-sama dengan kehidupan itu meletakkan kerangka perjalanan kehidupan yang harus dijalani manusia.

Kebudayaan sebagai wacana Pendidikan

·       Louis Leahy (1993:218) menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah suatu data kodrati yang diwariskan, maka kebudayaan harus didapatkan dan di raih oleh tiap manusia yang sedang berkembang, melalui suatu proses perkembangan yang mempunyai prinsip batin di dalam intelegensi dan kebebasan tiap pribadi; itulah perolehan yang terkandung di dalam lingkungan sosial. Dengan demikian, maka lingkungan sosial bukan sesuatu yang terlahir begitu saja, tetapi harus dari proses yang juga panjang dalam membangun kebudayaan manusia.
·       Dalam cara hidup teater pun terlihat bagaimana segala daya upaya ditumbuhkan dalam melahirkan segala aspek yang memungkinkan manusia melakukan tindakan eksploratif terhadap perjalanan kehidupannya.
·       Di dalam diri manusia terkandung semangat maupun motivasi mendirikan keinginan-keinginan maupun kehendak untuk berbuat. Dari sini proses semacam ini dapat memunculkan inti sari pandangan atau pemikiran dari manusia tersebut dalam mendapatkan apa yang diinginkannya. Tingkat pemikiran yang filosofis atau tingkat dimana manusia melakukan pencapaian kedalaman terhadap kebijakannya menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya, akan mampu memberikan arah atau jalan bagi penentuan sikapnya dalam memandang kebudayaan yang dihidupinya.
·       Lebih lanjut Lois Leahy (1993:219) menegaskan bahwa sinar visi filsafat memungkinkan kita menyaksikan empat faktor yang sama dengan faktor-faktor pendidikan lestari, yakni (1) suatu proses yang terurai dalam waktu dan ruang, (2) suatu proses yang mengarah pada pengembangan seluruh potensi pribadi manusia yang konkret, (3) suatu proses yang dipandu oleh pencarian koherensi dan keseimbangan, (4) suatu proses yang ditentukan, atau lebih tepatnya, dijiwai oleh otodidaksi (pengajaran itu sendiri). Pemaknaan keempat faktor ini sangat menekankan adanya suatu penggalian dari manusia itu sendiri terhadap dirinya yang memiliki banyak kemungkinan dalam menemukan berbagai hal yang ditemukannya dalam kehidupan. Hal ini sangat berarti dalam menumbuhkan maupun melahirkan khazanah pendidikan itu sendiri dalam dirinya.
·       Secara spesifik Leahy menegaskan pada faktor keduanya, bahwa ”kebudayaan tidak terbatas pada dimensi kognitif pribadi manusia”. Pengetahuan saja tidak cukup meskipun pengetahuan adalah suatu bagian integral dan mutlak perlu dalam kebudayaan, dalam mewujudkan kebudayaan manusia. Oleh karena itu, pengembangan budaya harus menghormati sifat multidimensi kepribadian manusia, keutuhannya dalam hal raga, intelek, afeksi dan etis”.
·       Teater pada masa-masa klasik hingga munculnya modernisme masih bertitik tolak pada prinsip kebudayaan yang hanya bertumpu pada hal-hal baku dalam pemikiran manusia. Bahkan, seolah-olah pemikiran manusia telah berhenti ketika titah sang dewa dikumandangkan, atau tatanan sosial tercipta oleh kaum borjuasi. Pemberontakan kaum Romantik yang dipelopori oleh Wolfgang von Goethe misalnya, tidak mampu menyelaraskan tatanan sosial Jerman dalam memerangi sikap tunduk dan cenderung membabi-buta terhadap borjuasi. Perasaan dan pendirian kemanusiaan benar-benar tersingkirkan hanya untuk mempertahankan kekuasaan maupun untuk sekedar mempertahankan kehidupan. Masa-masa perbudakan terhadap segala aspek kehidupan tersebut --baik dari segi intelektual, birokrasi hingga cara hidup di dalam rumah tangga, sangat memprihatinkan.
·       Babak baru dalam memandang kebudayaan di teater baru tumbuh di abad dua puluh, tepatnya di pertengahan abad dua puluh yang ditandai dengan lahirnya drama-drama Absurd dan munculnya seni eksperimenal. Apa yang dilakukan Antonin Artaud atau kemudian dikenal dengan metode Artaudian, mulai memenuhi pemikiran teater yang hendak mengubah kedudukan manusia yang telah mengalami perbudakan panjang sejarah teater dan sejarah pemikiran manusia.
·       Artaud misalnya, melihat posisi seorang sutradara justru sebagai tirani dari aktor. Begitu pula teks lakon yang hanya dihafalkan oleh aktor untuk kemudian dipertontonkan pada publik. Ini merupakan persoalan kebudayaan yang mendasar dalam teater, ketika persoalan kemanusiaan harus menjadi pilihan dalam pemanusiaan teater.
·       Dalam pergerakan teater-teater di Indonesia terlihat jelas bagaimana para pelakunya sangat menghormati dirinya ”diperbudak” oleh kenyataan teater yang di pandang sebagai suatu pelaksanaan metode menjelaskan, atau lebih jauh mengajari atau menuntun orang lain menuju suatu perilaku yang lebih baik. Teater merupakan tontonan dan tuntutan telah menjadi bahasa penting dalam eksplorasi teater di Indonesia.
·       Namun demikian, satu hal yang kurang disadari bahwa dalam teater-teater pasca-modern, atau ketika teater absurd mulai mempertegas posisi menjadi teater yang melihat kegagalan manusia dalam menggunakan logika kehidupan sehari-hari atau kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupannya, maka teater bukan lagi sebagai tontonan dan tuntunan. tetapi, lebih jauh sebagai wacana pendidikan. Wacana pendidikan disini berarti bahwa teater menghindarkan diri berposisi sebagai pihak yang paling benar. Teater bukan dewa atau tuhan baru yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Teater hanya bagian kecil saja dalam memecahkan atau membangkitkan kesadaran manusia dalam memandang kehidupan yang menurut manusia itu sendiri dilakukan sebagai seharusnya ia menghadapinya.
·       Konsekuensi logis dari hal posisi teater yang demikian adalah tuntutan bagi manusia, atau pelaku teater dengan seluruh pihak yang terlibat didalamnya --termasuk penonton, untuk tidak menyerahkan dirinya kepada kenyataan yang tidak memiliki ikatan dan entitas kebudayaan dalam dirinya. Pengertian kebudayaan disini dapat merupakan rangkaian kesejarahan dari manusia itu sendiri, atau para pelaku dan pihak yang terlibat dalam teater. Karena, melalui pengenalan terhadap kesejarahan hidupnyalah, manusia dapat membangun kebudayaannya, sekaligus membangun teaternya.
·       Atmosfir pendidikan yang lahir dalam hubungan teater dan kebudayaan, kemudian menimbulkan sikap dan pandangan kesetaraan. Seorang koreografer Jepang bernama Keiko Takeya yang pernah melakukan kerjasama dan membuat karya kolaborasi dengan sutradara teater Jepang, penari Thailand dan pemusik Indonesia mengingatkan bahwa kesetaraan hubungan di dalam kerja teater itu akan lebih memberikan pendidikan yang kondusif. Hubungan aktor dan sutradara bukan hubungan guru dan murid, tetapi hubungan antar manusia. Semua pihak yang terlibat dalam suatu kerja teater harus mampu melepaskan dirinya dari ikatan primordial, struktural dan kebangsaan. Teater harus lahir dari seluruh jiwa dan raga manusia yang berada dalam posisi kebudayaan yang sama, yakni kebudayaan manusia.

Sumber:
Autar Abdillah, Jurnal Padma, Perdana tahun I September 2002, hal. 45-51

Ringkasan

Teater tumbuh dengan korelasi kebudayaan yang luas. Namun demikian, kesadaran masyarakat tidaklah selalu sejalan dengan korelasi kebudayaan yang hidup bersama dirinya. Disinilah posisi sutradara sangat menentukan dalam membuat berbagai pilihan kreatifnya.

Topik Diskusi

1.    Bagaimana menurut pendapat anda hubungan teater dengan kebudayaan?
2.    Bagaimana bila teater tidak sejalan atau tidak berkorelasi dengan masyarakat yang membangun kebudayaannya. Jelaskan pendapat anda
3.    Apakah anda percaya, bahwa teater di Indonesia menyepakati dirinya diperbudak oleh drama? Dan, apa yang dimaksudkan Artaud, bahwa sutradara merupakan tirani dalam teater. Jelaskan pendapat anda


Bersambung ke Pertemuan 15









Daftar Pustaka

Artaud., Antonin, The Theatre and Its Double, New York: Grove Press Inc
         1958

Cohen, Robert., Theatre Brief Edition, California: Mayfield Publishing Company.
         1983

Leahy., Louis, Manusia, Sebuah Misteri, sintesa filosofis tentang makhluk paradoksal,        1993    Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Roose-Evans., James, Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, London:    1989    Routledge



TEATER MODERN

Pertemuan ke 13

PENONTON TEATER


Penonton merupakan salah satu aspek penting dalam teater. Penonton teater merupakan orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa teater. Ketika seorang penonton menghadiri sebuah pertunjukan teater, maka di dalam diri mereka terdapat sejumlah jalinan pengalaman yang mengantarkan pemahamannya pada pertunjukan yang disaksikan. Pengalaman penonton teater menjadi aspek yang tak dapat dipungkiri, karena melalui pengalaman tersebut, penonton dapat berinteraksi secara intensif. Pengalaman penonton teater tidak pernah lahir begitu saja, tetapi kehadirannya sangat ditentukan oleh bagaimana penonton tersebut membangun hubungan dirinya dengan kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari merupakan sumber dalam membangkitkan interaksi seorang penonton, sehingga seseorang yang menjadi penonton teater, bisa memahami suatu pertunjukan teater –sebagaimana diharapkan oleh para seniman atau pelaku teater tersebut. Disamping itu, para pelaku teater juga dituntut untuk mampu memberikan ‘sunjektivikasi’ pertunjukannya pada sisi yang mampu memberikan rangsangan lahirnya interaksi yang dinamis.

Hakikat Penonton Teater Modern

·       Kajian terhadap penonton teater maupun terhadap penonton seni pertunjukan pada umumnya, hingga saat ini belum begitu banyak ditemukan, khususnya dalam kjian seni pertunjukan maupun teater di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya perhatian terhadap aspek penonton dalam teater khususnya, dan seni pertunjukan atau bahkan seni-seni lain pada umumnya, misalnya terhadap penonton di suatu pameran seni lukis, baik oleh kalangan akademisi maupun seniman kreatornya. Pengabaian terhadap penonton ini sudah menjadi bagian dari sejarah teater yang memandang penonton bukan sebagai aspek atau unsur yang signifikan, karena penonton berada dalam aspek yang bukan bersifat kreatif-artistik.
·       Namun demikian, penonton tetap menjadi sasaran utama dari pertunjukan teater. Tanpa penonton, tentu teater tidak berarti. Kalau terdapat seniman teater yang mengasumsikan bahwa ia tak membutuhkan penonton, hal ini hanya menunjukkan kecongkakan semata atau ketidaktahuan akan makna pentingnya kehadiran penonton, dan bukan sebuah sikap dan konsepsi yang positif bagi perkembangan teater.
·       Penonton teater atau manusia pada umumnya, sangat peka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Peristiwa-peristiwa tersebut sering menjadi ingatan yang mendalam. Bahkan, untuk peristiwa-peristiwa tertentu, seperti peristiwa perkawinan, kelahiran dan ulang tahun, dicatat dan dibukukan serta diletakkan di tempat-tempat khusus. Peristiwa tersebut bukan sekedar sebuah dokumen yang dapat disaksikan di kemudian hari, tetapi peristiwa tersebut selalu menjadi suatu pembangkitan rasa harga diri, dan untuk itu selalu dipamerkan atau diperlihatkan kepada orang lain. Peristiwa bukan saja sebuah pertunjukan tetapi juga sebuah proses interaksi, yang sangat membutuhkan orang lain untuk menyaksikannya. Hal ini merupakan titik awal yang sangat berarti dalam memahami peristiwa teater.
·       Susan Bannet menegaskan bahwa ‘persitiwa merupakan proses interaksi yang mengandalkan kehadiran penonton untuk pencapaian pengaruhnya. Sebuah pertunjukan, memang, tidak seperti karya cetakan, selalu terbuka terhadap penerimaan yang segera maupun penerimaan publik, modifikasi atau penolakan oleh orang yang menjadi tujuannya. Ini merupakan hubungan kompleks yang tak terelakkan antara pertunjukan dan penonton...’.1
·       Berbagai temuan hubungan penonton dan pertunjukan pada 1970-an mulai gencar dilakukan oleh para pakar semiotika. Bahkan, kajian yang semakin meluas tersebut mengarah pada upaya positif menemukan konsepsi komunikasi teater yang memberikan pandangan baru terhadap aspek komunikasi antara penonton dan teater sebagai seni pertunjukan. Seorang penggagas teater yang menyebut teaternya “Teater Miskin” (poor theater), Jerzy Grotowski bahkan “mendefenisikan” teaternya yang berpusat pada penonton dengan mengatakan bahwa ‘Teater adalah pertemuan aktor dan penonton’2.
·       Berbagai temuan tersebut, tentu tidak terlepas dari bagaimana penonton berupaya memenuhi berbagai kebutuhannya. Kebutuhan tersebut ada yang bersifat sosial, ideologi, pendidikan hingga ekonomi. Hal ini merupakan fitrah penonton yang tak terelakkan lagi.
·       Paradigma hubungan teater dengan penonton menjadi kajian penting oleh beberapa ahli, diantaranya Roland Barthes, Raymond Picard, Umberto Eco, Gustav Le Bon, Lawrence S. Wrightsman, Stanley Fish, Hans Robert Jauss, Wendy Deutelbaum, Claude Bruzy, Marco De Marinis, Wilfried Passow, Erika Fischer-Lichte, Anne Ubersfeld, dan lain-lain, baik yang berangkat dari studi analisis drama maupun pada pertunjukan teater yang disaksikan langsung di berbagai peristiwa teater.

Teater dan Metafora

·       Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang teater di Indonesia dengan teater di belahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Hal ini sedikit atau banyak mempengaruhi pula pandangan kita dalam mengamati atau menganalisa persoalan yang berkaitan dengan penonton teater.
·       Di Indonesia, kita secara relatif dapat dikatakan baru dalam memahami berbagai konsepsi yang ada dalam teater, baik itu teater dalam pengertian pertunjukan maupun teater dalam konsepsi drama. ‘Kebaruan’ kita itu mempengaruhi sudut pandang dalam menempatkan kedudukan teater ditengah-tengah masyarakat. Teater (di Indonesia) bisa menjadi tidak penting ketika sebuah kekuatan politik menyatakan teater tidak layak ‘dikonsumsi’ masyarakat. Bahkan, masyarakat pun dapat melakukan penyerangan terhadap teater, karena teater dipandang melakukan dekonstruksi religius yang dikhawatirkan merusak tatanan tertentu dalam kehidupan keagamaan.
·       Di samping itu, kekuatan teknologi yang muncul pada tahun 1900-an dan berkembang sangat pesat di abad dua puluh mempengaruhi perilaku hidup masyarakat. Dalam konteks Indonesia, hal ini ditanggapi dengan sikap ekstasi atau meledak-ledak. Hal ini disebabkan oleh kesempatan memasuki era teknologi maupun era kebebasan individu yang menjadi salah satu ciri penting dalam khazanah penonton teater tersebut, belum lama dinikmati secara leluasa. Dengan kata lain, terdapat sejarah yang berbeda secara signifikan ketika kita memposisikan teater dalam konstelasi masyarakat Eropa dan Amerika, sehingga pemahaman terhadap subjek penandaan pun akan sangat berbeda.
·       Begitu pula dengan pemecahan-pemecahan teoritik maupun praktis dalam kajian teater. Satu hal lagi adalah kemampuan dan minat baca –khususnya untuk karya-karya drama, yang masih rendah di Indonesia, sehingga penceritaan dalam teks drama masih dipandang sebagai sebuah fiksi semata, bukan sebagai media atau perantara dari lahirnya sumber informasi yang dapat mengantarkan seorang pembaca atau penonton pada suatu tempat yang menjadi tujuan dari suatu penceritaan.
·       Namun demikian, kita memiliki beberapa konstruksi pemikiran yang sama diantara masyarakat di seluruh dunia. Di satu sisi terdapat persamaan dalam hal memposisikan manusia atau penonton teater sebagai makhluk yang memiliki beberapa kecenderungan atau permasalahan kemanusiaan yang dipandang secara universal. Di sisi lain adalah kaidah atau perspektif logis dalam menentukan masa depan kehidupan.
·       Di Indonesia, teater masih merupakan sebuah permasalahan estetika, daripada permasalahan sosial, ideologi, ekonomi maupun kebudayaan secara umum. Sehingga, ketika melakukan kajian terhadap teater –dapat kita temukan di berbagai forum diskusi maupun tulisan-tulisan di media massa, yang mengemuka adalah persoalan ‘gangguan’ estetika ketimbang ‘gangguan’ sosial maupun kebudayaan. Ketika kita hendak berbicara tentang ‘gangguan’ sosial, maka titik tolaknya adalah estetika. Contoh dalam dunia pertunjukan musik dangdut misalnya dapat kita lihat pada sikap ‘Raja Dangdut’ Rhoma Irama yang mencoba membatasi gerak penyanyi ‘Ratu Ngebor’ Inul Daratista dengan menempatkan estetika gerakan Inul yang dianggap menimbulkan birahi –dan dengan demikian diasumsikan merusak moral masyarakat. Contoh lain adalah ketika sebuah pertunjukan teater baru saja berakhir, maka kita mendengar dari para pengunjung teater itu, bahwa persoalan-persoalan estetika membuat mereka menjadi tidak nyaman, mulai dari penataan lampu yang gelap hingga aktornya yang tidak memahami seni peran maupun teks.
·       Titik tolak dari estetika itu dengan sendirinya telah membuat jarak atau jurang pemisah antara kemandirian penonton di satu sisi, dan pertunjukan teater yang tumbuh ketika berlangsungnya peristiwa disisi lain.
·       Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Teater adalah peristiwa yang dipertunjukkan bersama-sama dengan kehadiran penonton’3. Kebersamaan dengan penonton itu mengindikasikan bahwa antara teater dan penonton memiliki ‘tugas’ yang sama dalam ‘menyelesaikan’ adegan demi adegan. Dengan demikian, antara teater dan penonton tidak saling menuntut, tetapi saling mencurahkan dirinya untuk suatu peristiwa. Kritikus drama Walter Kerr menjelaskan:
Tidak sekedar menunjukkan bahwa kita menghadirkan pribadi dari pemeran. Tetapi berarti bahwa mereka berada dalam kehadiran kita, kesadaran kita, pembicaraan kita, bekerja untuk dan dengan kita hingga sebuah perjalanan keliling yang tidak mekanis menjadi tak bisa dipungkiri diantara kita, sebuah perjalanan keliling yang naik turun, tak dapat diduga, sesungguhnya berubah dalam rangsangannya, bergemericik, akrab. Kehadiran kita, pandangan yang kita tanggapi, kembali mengalir menuju pemain dan mengubah apa yang dia lakukan, pada beberapa tingkat dan kadang-kadang mengherankan, juga, setiap malam kita menyaksikannya. Kita adalah pesaing, membuat drama dan misteri serta emosi bersama-sama. Kita adalah kawan bermain, membangun struktur’.4
·       Semua hubungan antara penonton dan teater tersebut merupakan realitas yang dibangun melalui metafora-metafora, disamping simbol dan mimpi. Ketika seorang pemeran memainkan suatu adegan, maka dengan sendirinya, dirinya teridenfikasi sebagai peran yang dimainkannya, tanpa terlebih dahulu mengatakan bahwa “saya akan memerankan seorang tokoh A”. Bila dalam teater rakyat di Indonesia, kita menjumpai penyebutan peran seperti “saya memerankan tokoh tumenggung A”, hal ini merupakan suatu bentuk pengungkapan yang dibuat sebagai prolog atau pembuka cerita, agar penonton lebih dahulu mengenal peran yang akan dimainkannya. Namun demikian, pola semacam ini sudah tidak berlaku lagi, kecuali dengan mengatakan “saya adalah tumenggung A”.
·       Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Segala sesuatu yang kita lihat di teater --keseluruhan pertunjukan, termasuk perilaku dan dekorasi-- dapat dipandang sebagai metafora raksasa. Ketika metafora berhasil, kita melihat seperti sebelum kita menciptakan sepenuhnya cermin kehidupan. Hal ini menempatkan kita disisi bawah sadar kita, dan membiarkan kita tertawa pada diri sendiri atau belajar untuk melihat ketakutan kita yang terdalam… Yang demikian itulah kekuatan imajinasi.5 Metafora berfungsi strategis dalam membangun sumber-sumber pengalaman pribadi (atau yang mempribadi). Suatu pengalaman yang berasal dari segala sesuatu yang dialami secara individual dalam kehidupan sehari-hari.

Kekuatan Kelompok dan Imajinasi

·       Pengalaman kelompok menjadi kekuatan penting dalam teater. Dalam sebuah ruang pertunjukan –yang terdiri dari berbagai jenis dan sikap serta pendangan, mengalami suatu kejadian di suatu tempat yang sama. Sesuatu yang penuh misteri terjadi pada diri mereka. Demikian pula halnya secara individu maupun pribadi dengan latar belakangnya yang berbeda. Mereka mengalami suatu peristiwa dengan tanggapan yang beraneka ragam secara bebas. Para pakar psikologi sosial cukup banyak melakukan analisa mengenai kelompok ini, diantaranya Gustav Le Bon, pelopor psikologi sosial dan seorang yang pertamakali mempelajari gejala banyak penonton, menulis bahwa kumpulan orang “menghadirkan watak baru yang sangat berbeda dengan pembawaan individunya. Perasaan dan gagasan semua orang dalam satu tempat pertemuan dan mempunyai tujuan yang sama, dan lenyapnya kesadaran pribadi mereka“6. Lenyapnya kesadaran pribadi, mengantarkan penonton teater dalam pengalaman kelompok.
·       Pengalaman kelompok berarti terjadinya hubungan satu dengan yang lainnya dalam kelompok ketika seorang penonton teater berada bersama-sama dengan individu lainnya. Seorang penonton teater yang tertawa terbahak-bahak sendirian tentu akan menjadi sesuatu yang aneh. Begitu pula bila seorang penonton bertepuk sendirian, sedangkan penonton lainnya asyik menyaksikan pertunjukan. Keterpencilan penonton secara individu, akan mengubah tanggapannya terhadap pertunjukan itu sendiri. Seperti ditegaskan oleh Lawrence S. Wrightsman dalam bukunya Psikologi Sosial (Social Psychology), menunjukkan sejumlah studi awal yang menegaskan pandangan yang mana kumpulan orang atau kelompok dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan individu. Selanjutnya Lawrence menulis “Kelompok dapat digoyang oleh proses pemikiran kelompok”7. Hal ini berarti bahwa siapapun yang berada dalam suatu kelompok akan membawa sebagian atau seluruh atmosfir yang dimiliki oleh anggota kelompok tanpa terkecuali. Pengalaman kelompok bukan berarti terjadinya ‘penggadaian’ terhadap sesuatu yang mempribadi. Bila Le Bon mengatakan lenyapnya kesadaran pribadi, itu berarti bahwa kesadaran yang bersifat pribadi dalam kelompok, seperti bersiul, bertepuk atau tertawa. Sedangkan kesadaran terhadap ‘dunia pengalaman’ yang hidup sejak seseorang dilahirkan, tetap merupakan bagian yang integral dalam dia menyikapi segala bentuk penampakan yang terjadi diatas panggung.
·       Disamping itu, dalam pengalaman kelompok terdapat berbagai kecenderungan penonton teater yang membawanya pada pemikiran yang bersifat bersama-sama karena bangunan entitas budayanya maupun ikatan-ikatan primordial yang dibentuk oleh hubungan kedekatannya dengan penonton lainnya. Menurut Wilson penonton teater memiliki andil dengan semua kelompok yang bercirikan pemikiran kolektif khusus8. Diantara mereka ada yang agresif dan ada pula yang ‘duduk manis’ mengikuti apa yang menjadi perhatian mereka. Dengan jumlahnya yang besar, kelompok dapat mempengaruhi banyak hal dalam teater. Bentuk-bentuk pengaruh kelompok ini, sekali lagi pada sifat kolektivitas interaksi kelompok, bukan pada reproduksi ingatan pengalaman kehidupan sehari-hari yang bersifat pribadi. Seorang pakar behavioris B.F. Skinner menyebutnya penguatan (reinforcement):
Jika penguatan selalu dimiliki individu, namun demikian kelompoklah yang memiliki efek kekuatan yang lebih besar. Dengan bergabung dalam kelompok, individu lebih meningkatkan kekuatan untuk memperoleh penguatan ... Peningkatan sebagai akibat yang dihasilkan oleh kemudahan kelompok melampaui jumlah akibat yang dapat dicapai oleh anggota yang berperan secara terpisah9.
·       Pencapaian bangunan penguatan itu adalah lewat imajinasi. Seorang kreator tentulah orang yang kita asumsikan memiliki daya imajinasi yang lebih dari para penontonnya. Imajinasi ini membangun rangkaian demi rangkaian menuju satu pola yang dapat menjadi penanda bagi tujuan-tujuan kreatif. Sudah menjadi tugas dari para krreator, seperti sutradara dan aktor untuk meminimalkan keterbatasan imajinasi penonton teater. Wilson menegaskan teater berjalan dalam dua-cara --mengubah antara aktor dan penonton --dan dimana-mana banyak ditemukan dalam penciptaan ilusi. Ilusi mungkin diprakarsai oleh pencipta teater, tetapi ilusi ini dilengkapi oleh penonton.10
·       Dalam sebuah pertunjukan, misalnya kita menyaksikan penonton memerankan sebuah peran binatang, kita tahu bahwa apa yang dilakukan seorang aktor itu bukan nyata; orang bukan harimau misalnya, dan harimau tidak menyanyi dan menari diatas panggung. Kita akan memaklumi bahwa setiap bentuk-bentuk yang tidak nyata itu, sebagai bentuk yang merupakan imajinasi dari sebuah rangsangan penandaan yang harus dibentuk kembali dalam realitas pengalaman yang nyata. Hal ini berarti bahwa terjadi penafsiran-penafsiran yang membangun objek penceritaan menjadi pandangan subjektif oleh masing-masing penonton teater.

Ringkasan

Berbagai pendapat yang mengemuka tentang penonton teater, sesungguhnya merupakan gambaran dari upaya menempatkan penonton yang tidak terpisah dari pertunjukan teater. Pendapat yang menempatkan keterpisahan antara penonton teater, harus ditempatkan sebagai suatu kenyataan, bahwa antara penonton dan teater memiliki perbedaan dalam proses keterlibatannya. Disatu sisi terdapat proses kreatif oleh aktor dan disisi lain terdapat proses alami penonton menyaksikan pertunjukan teater.
Seni bukan kehidupan tetapi refleksi kehidupan --penciptaan khusus yang abstrak dan cermin kehidupan. Bernard Beckerman membuat pengamatan sebagai berikut:
Para pemain dan penonton harus dipisahkan satu dengan lainnya agar penonton dapat mengamati apa yang sedang terjadi. Tetapi pemisahan ini tidak hanya fisik saja: pemisahan keduanya baik fisik maupun psikologis. Hutan kecil yang sakral mungkin menjadi pilihan, tarian melingkar mungkin terbatas, panggung mungkin dibangun. Bagaimanapun juga, sebuah wilayah dibagi, yang kemudian menjadi tempat pemain. Hal ini dapat dimanipulasi, antara ruang yang sebenarnya dan imajinasi; ini merupakan tempat dimana pementasan dapat disuguhkan. Akhir-akhir ini, dalam drama, kita memiliki contoh produksi seperti The Connection dan The Blacks, karya Jerzy Grotowski, dan dalam novel yang mirip kejadian sesungguhnya, dimana pembongkaran batas terlihat. Seringkali, peran ini kebalikannya, dan penonton, malahan menjadi tuhan, juga menjadi kambing hitam. Upaya untuk menghapus batas antara pengarang dan yang dikarang hanya mendefenisikannya dengan lebih tegas. Pendengar dengan cermat menjadi benar-benar sadar, bahwa dia menjadi pemain dalam peran tertentu dari penonton. Pemisahan ini tidak dihapuskan, semata-mata diposisikan kembali pada tempat yang seharusnya.11

Topik Diskusi

1.          Buatlah identifikasi terhadap kecenderungan penonton teater modern
2.          Aspek apakah yang menjadi pilihan utama penonton teater
Bersambung ke Pertemuan 14

DAFTAR PUSTAKA


Beckerman, Bernard
      1970          Dynamics of Drama: Theory and Method of Analysis, New York: Knopf

Bennet, Susan
      1997          Theatre Audience, a theory of production and reception, second edition, London and New York: Routledge

Roose-Evans, James
      1989          Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition, London: Routledge,

Wilson, Edwin
      1988          The Theater Experience, fourth edition, New York: McGraw-Hill Book Company



1   Susan Bennet, Theatre Audience, a theory of production and reception, second edition, London and New York: Routledge, 1997, hal. 69-70
2   Jerzy Grotowski menjadi tokoh yang unik dalam teater, karena berbagai eksperimentasinya yang menggali berbagai kemungkinan penjelajahan teater. Teater laboratorium yang didirikannya 1965 di Polandia menjadi salah satu tempat penelitian maupun penjelajahan teater yang terkemuka di seluruh dunia. Saya bahkan pernah menyaksikan metode latihannya digunakan oleh lima wanita yang berasal dari Belanda di padepokan “Lemah Putih” Surakarta (1994). Lebih jauh, lihat James Roose-Evans, Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition, London: Routledge, 1989.
3 Edwin Wilson, 1988, The Theater Experience, fourth edition, New York: McGraw-Hill Book Company, hal. 12
4 idem., hal. 13-14
5 idem., hal 33
6 Gustave Le Bon, The Crowd: A Study of the Populer Mind, 20th ed., Benn, London, 1952, hal. 23, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16.
7 Lawrence S. Wrightsman, Social Psychology, 2d ed., Brooks/Cole, Monterey, Calif., 1977, hal. 579, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16
8   Edwin Wilson, op. cit, hal. 16
9 B.F. Skinner, Science and Human Behaviour, Macmillan, New York, 1953, hal. 312, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16
10 Edwin Wilson, idem, hal. 16
11 Bernard Beckerman, Dynamics of Drama: Theory and Method of Analysis, Knopf, New York, 1970, hal. 9